Minggu, 15 November 2009

Hubungan Cincin Api (Ring of Fire) dengan Intensitas Bencana Gempa Bumi di Indonesia

Ring of Fire (Cincin Api) adalah zona dimana terdapat banyak aktifitas seismik yang terdiri dari busur vulkanik dan parit-parit (palung) di dasar laut. Cincin Api memiliki panjang lebih dari 40000 km memanjang dari barat daya Amerika Selatan dibagian timur hingga ke sebelah tenggara benua Australia di sebelah barat. Pada zona yang disebut Cincin Api inilah banyak terjadi gempa dan letusan gunung berapi. Sekitar 90% dari gempa bumi yang terjadi dan 81% dari gempa bumi terbesar di dunia terjadi di sepanjang Cincin Api ini.



Gambar Zona Cincin Api

Pada gambar, dapat dilihat bahwa lempeng Pasifik dan lempeng kecil Juan de Fuca terdorong ke bawah lempeng Amerika Utara. Sepanjang sisi utara lempeng Pasifik bergerak kearah barat laut terdorong kebawah busur vulkanik Pulau Aleutian. Dibagian barat lempeng Pasifik terdorong sepanjang Semenanjung Kamchatka-Kurile diselatan Jepang. Di bagian selatan Lempeng Pasifik bertumbukan dengan banyak lempeng-lempeng kecil, yang terbentang dari Kepulauan Mariana, Philipina, Bougenville, Tonga sampai Selandia Baru. Indonesia terletak diantara Cincin Api dan Sabuk Alpide yang membentang dari Nusa Tenggara, Bali, Jawa, Sumatra, terus ke Himalaya, Mediterania dan berujung di Samudra Atlantik. Inilah sebabnya di Indonesia banyak gunung berapi aktif dan banyak terjadi gempa seperti yang baru-baru ini terjadi di Sumatra Barat. Gunung-gunung berapi di Indonesia termasuk yang paling aktif dalam jajaran gunung berapi pada Ring of Fire. Gunung berapi di Indonesia terbentuk dalam zona subduksi lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia.



Gambar posisi gunung berapi di Indonesia

Pada gambar, terlihat segitiga merah yang terdapat di sepanjang pantai Indonesia. Segitiga merah ini berarti gunung berapi/ jalur ring of fire pasific di Indonesia.

Jelas sudah mengapa di negeri tercinta kita ini sering sekali terjadi bencana gempa bumi. Wilayah Indonesia merupakan pertemuan empat lempeng besar di dunia yaitu lempeng Indo Australia, Eurasia, Filipina, dan Pasifik. Di Indonesia, gempa bumi interplate banyak terjadi di laut dengan kedalaman dangkal dan yang terjadi di daratan kedalaman fokusnya menengah sampai dalam dan bisa mencapai kedalaman 700 kilometer.

Antar lempeng tersebut berubah posisi dan ukuran dengan kecepatan 1-10 cm per tahun, jika terjadi desakan antar lempeng secara horizontal, maka terjadi gempa bumi, namun apabila terjadi desakan antar lempeng secara vertikal maka akan terjadi letusan gunung berapi. Aktivitas magmatik ini berpotensi menyebabkan gempa bumi.

Ketika lempeng bumi bergerak dapat terjadi tiga kemungkinan :
* lempeng-lempeng bergerak saling menjauhi sehingga memberikan ruang untuk dasar laut yang baru.
* lempeng saling bertumbukan yang menyebabkan salah satu lempeng terdesak kebawah dari lempeng yang lain.
* tepian lempeng meluncur tanpa pergesekan yang berarti.

Pergerakan lempeng yang beradu ini juga dapat menimbulkan tsunami. Tsunami adalah gelombang laut yang sangat besar. Indonesia yang merupakan negara yang memiliki titik gempa terbanyak di dunia (mencapai 129 titik) merupakan negara rawan gempa terbesar di dunia yang dapat menimbulkan gelombang tsunami.

Gempa bumi yang besar selalu menimbulkan deretan gempa susulan yang biasa disebut dengan aftershock. Kekuatan aftershock selalu lebih kecil dari gempa utama dan waktu berhentinya aftershock bisa mencapai mingguan sampai bulanan tergantung letak, jenis dan besarnya magnitude gempa utama. Di sekitar lokasi pertemuan lempeng, akumulasi energi tabrakan terkumpul sampai suatu titik di mana lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan tumpukan energi sehingga lepas berupa gempa bumi.

Pelepasan energi sesaat ini menimbulkan berbagai dampak terhadap bangunan karena percepatan gelombang seismik, tsunami, longsor, dan liquefaction. Besarnya dampak gempa bumi terhadap bangunan tergantung pada beberapa hal di antaranya adalah skala gempa, jarak epicenter, mekanisme sumber, jenis lapisan tanah di lokasi bangunan dan kualitas bangunan.

Solusi
Setelah mengetahui dan menyadari tentang kenyataan ini, apa yang akan kita lakukan? Apakah kita harus berpasrah dan menerima keadaan saat bencana itu datang, atau kita harus meninggalkan Indonesia dan pindah ke negara lain yang jauh dari Cincin Api? Negara ini adalah tanah air kita, tempat kita lahir dan hidup. Indonesia telah memberikan keindahannya untuk kita. Lalu ketika Indonesia diancam bencana, apakah kita hanya diam saja tanpa berusaha melindungi?

Akan timbul banyak sekali kerugian yang akan didapat, akan banyak nyawa yang akan terenggut bila kita tidak melakukan sesuatu. Alam memang tidak dapat dilawan, tapi kita seharusnya dapat meminimalisir risiko kerugian-kerugian yang disebabkan oleh bencana gempa bumi ini.

Ketidakmampuan terprediksinya gempa bumi dan seberapa bahayanya gempa bumi dalam kehidupan manusia, seharusnya menyadarkan kita bahwa Indonesia adalah negara yang sering kali terkena musibah gempa bumi dan banyak sekali kehilangan nyawa warga negaranya yang tak berdosa. Pemerintah mungkin dapat meniru Jepang dalam konstruksi bangunan yang tahan terhadap getaran gempa, karena korban gempa kebanyakan tewas tertimbun runtuhan rumah/ bangunan. Bila konstruksi kokoh, maka korban gempa dapat diminimalisir. Selain itu, diperlukan pula pengetahuan tentang gempa bumi sejak dini, yaitu sejak tingkat sekolah dasar. Pengetahuan ini meliputi langkah-langkah apa saja yang harus ditempuh apabila gempa bumi terjadi.

Kini sudah waktunya Indonesia memaksimalkan Mitigasi Bencana. Tidak hanya untuk Gempa Bumi, tetapi juga untuk semua bencana yang dapat terjadi di Indonesia dalam waktu ke depan. Contohlah negara lain yang telah maju dalam hal mitigasi bencana, tengok saja Hong Kong. Di sana apabila di tempat keramaian ditempel kertas besar bertuliskan angka (1 s.d. 10) orang sudah mengerti bahwa ada sesuatu yang mengharuskan mereka pulang dan bertahan di rumahnya masing masing. Semakin besar angkanya, semakin mendesak pula urusan mitigasi bencananya. Tidak ada yang salah bila kita terinspirasi cara negara lain dalam mengatasi bencana, karena kita melakukannya demi kemaslahatan jutaan umat manusia di Indonesia.

Kita sebagai manusia telah diberi kelebihan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa yaitu salah satunya kita dapat mencari jalan terbaik untuk bertahan hidup dan mempertahankan hak hidupnya sebagai manusia di muka bumi ini. Sesungguhnya, mencoba mengatasi akan lebih baik daripada diam dan tidak melakukan apa-apa.

DAFTAR PUSTAKA
Ardhitama, A. 2009. Indonesia Rawan Gempa Bumi. (http://www.mdopost.com/news2009/index.php?option=com_content&view=article&id=6595:indonesia-rawan-gempa-bumi-&catid=36:opini&Itemid=66) diakses tanggal 14 November 2009.

Rachmat. 2009. Ring of Fire. (http://ayahrachmat.blogspot.com/2009/10/ring-of-fire.html) diakses tanggal 14 November 2009.

Risyad, M. 2009. Terlambatkah Indonesia dalam hal Mitigasi Bencana seperti Gempa Bumi? (http://mrisyad.tumblr.com/post/205498348/gempa) diakses tanggal 14 November 2009.

Banjir Jakarta sebagai Akibat Disintegrasi Sistem Drainase dan Daerah Resapan Air

Banjir, sebenarnya adalah fenomena alam yang merupakan bagian dari siklus iklim. Banjir yang merupakan salah satu bencana, sekarang ini lebih disebabkan oleh intervensi manusia terhadap alam. Misalnya di Jakarta, akibat intervensi manusia yang justru merusak alam, banjir di Jakarta bukan lagi menjadi siklus lima atau tiga tahunan, tetapi kini terjadi setiap tahun. Banjir dengan intensitas dan luas cakupan wilayah yang semakin bertambah dari tahun ke tahun ini disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari tidak tersedianya lagi daerah resapan air hingga sampah.


Banjir Jakarta


Sistem Drainase
Saluran drainase memiliki peran sangat penting sebagai jalan bagi air untuk sampai ke laut yang merupakan tujuan akhir dari air yang mengalir. Seperti halnya jalan, kapasitas saluran drainase haruslah sesuai dengan volume air yang akan disalurkannya. Di beberapa tempat volume saluran drainase mengalami penyusutan karena beberapa hal, yaitu semakin banyaknya masyarakat yang terpaksa bermukim di bantaran sungai, masih berkembangnya perilaku membuang sampah di sungai, pembuatan saluran drainase yang di bawah volume air limpasan, pengusahaan bantaran sungai sebagai areal pertanian, dan kondisi fisik palung sungai. Sistem drainase di Jakarta masih belum optimal dalam mendistribusikan air yang ada. Oleh karena itu, memerlukan suatu sistem yang terintegrasi untuk mendisribusikan air.

Semakin membengkaknya penduduk Jakarta akhirnya berimbas pada semakin meningkatnya kebutuhaan akan tempat tinggal. Sayangnya luas lahan yang tersedia untuk pemukiman di Jakarta tidak mampu memenuhi besarnya kebutuhan masyarakat. Akibatnya, hukum ekonomi lah yang berjalan. Harga tanah semakin mahal. Terlebih harga rumah. Bagi kaum pendatang yang sebagian besar bekerja di sektor informal, untuk memiliki rumah yang layak huni sangatlah jauh dari jangkauan kantong mereka. Akhirnya, pilihan mereka hanyalah bantaran sungai yang tidak berpenghuni. Masuk akal juga sebenarnya pilihan ini. Membangun rumah di bantaran sungai tidak memerlukan pembangunan sarana MCK yang mahal. Cukup dengan memanfaatkan air sungai sebagai sarana MCK.

Ketidaktegasan Pemda DKI dan semakin besarnya penduduk Jakarta menyebabkan permukiman di bantaran sungai semakin padat pula. Akibatnya, seperti sudah diduga oleh banyak pakar sungai, semakin memperkecil volume saluran drainase. Menurut laporan yang dikeluarkan oleh Pemda DKI Jakarta, Sungai Ciliwung yang memliki lebar 65 meter, saat ini menyempit menjadi 15 s/d 20 meter akibat permukiman liar di bantaran sungai tersebut.


Lokasi bantaran sungai yang penuh dengan bangunan adalah sebagai berikut :
1 Waduk Pluit, Jakut
2 Banjir Kanal, Jakut
3 Kali Angke, Kapuk Muara, Jakut
4 Kali Ciliwung-Manggarai, Jaktim-Jaksel
5 Kali Pesanggrahan, Jakbar
6 Kali Cipinang, Besar dan Muara, Jaktim
7 Kali Sunter, Jakut-Jaktim
8 Kali Mampang, Pondok Karya, Jaksel
9 Kali Krukut, Blok P, Jaksel
10 Kali Cideng, MBAU Pancoran, Jaksel
11 Anak Kali Ciliwung Kota (belakang RS Husada), Jakbar

Sebenarnya secara tegas di dalam peraturan perundangan (UU Pengairan dan UU Kehutanan) disebutkan bahwa di kawasan kanan-kiri sungai sejauh 50 meter adalah kawasan lindung yang tidak boleh diganggu gugat. Sayangnya peraturan ini hanya ‘garang’ di atas kertas. Pemerintah seringkali tidak bertindak tegas ketika mulai terlihat adanya gelagat pembangunan di bantaran sungai. Pemerintah baru bertindak setelah setelah kawasan tersebut telah menjadi permukiman yang padat. Akibatnya konflik antara pemerintah dengan masyarakat setempat tidak dapat dihindari.

Pada sisi lain, dalam hal ini dari sudut pandang masyarakat penghuni permukiman liar di bantaran sungai, membangun rumah di kawasan tersebut karena tidak adanya pilihan. Mereka datang ke kota karena memang sampai saat ini baru kota, misal Jakarta, yang memungkinkan mereka dapat mencari nafkah. Pendatang yang sebagian besar berasal dari berbagai daerah pedesaan di Indonesia, tidak lagi dapat menggantungkan hidupnya di desa tempatnya berasal. Lapangan kerja di desa semakin langka. Lahan pertanian yang sebelumnya mereka miliki semakin menyempit. Bahkan, tidak sedikit yang memang tuna lahan. Dengan demikian, sebenarnya fenomena pemukiman di bantaran sungai di Jakarta adalah hasil dari masalah struktural yang melingkupi pembangunan di Indonesia.

Hal lainnya yang turut serta dalam penyempitan saluran drainase adalah kebiasan masyarakat yang suka membuang sampah ataupun limbah domestik ke sungai. Sudah merupakan pemandangan yang biasa, apabila pintu-pintu air di berbagai daerah di Indonesia tertutup penuh oleh sampah.
Menurut Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, setiap harinya sampah yang masuk ke saluran drainase mencapai 800 meter kubik. Banyaknya sampah di saluran drainase tidak hanya menambah pekerjaan bagi petugas pengairan untuk mengangkut sampah, tetapi juga memerlukan biaya yang besar untuk mengangkutnya ke tempat pembuangan sampah. Perilaku membuang sampah di sungai tidak dimonopoli oleh warga Jakarta saja.

Kecenderungan masyarakat membuang sampah di sungai pada dasarnya merupakan perwujudan dari persepsi yang selama ini dianut oleh masyarakat awam tentang sungai. Sebagian masyarakat masih memandang sungai sebagai tempat pembuangan sampah. Alasannya sederhana. Masyarakat sebagian besar masih belum mau untuk bersusah payah membuat lubang atau bak sampah atau bahkan lebih jauh lagi memanfaatkan sampah untuk keperluan lain yang lebih bermanfaat. Membuang sampah di sungai adalah cara paling cepat melenyapkan sampah sebatas padangan mata si pelaku tanpa pernah peduli akibatnya bagi masyarakat yang lain.



Gambaran perbandingan daerah banjir tahun 2002 dan 2007. Bayangkan seperti apa Jakarta di tahun 2009.



Daerah Resapan Air
Berkurangnya daerah resapan air disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan. Lahan yang berfungsi sebagai daerah resapan air kini tertutupi beton. Menurut PBB, wilayah hijau atau daerah resapan yang dimiliki suatu kota idealnya adalah 30% (secara ekologis dan fungsi sosial, misalnya sebagai penyaring udara dari polusi dan kebisingan/ polusi suara) dari luas kota tersebut. Namun, hanya ada 9% wilayah hijau di Jakarta saat ini. Banjir yang terjadi di Jakarta memang disebabkan oleh kesalahan dalam pengelolaan lingkungan yang ada. Di Jakarta sendiri daerah resapan air semakin tahun semakin mengecil, ruang-ruang terbuka hijau dikonversi menjadi daerah komersial. Sepertinya, hukum lingkungan dan kemampuan lingkungan sebagai fungsi penyeimbang tidak berfungsi.

Selain perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke pemukiman dan dari tanaman keras ke tanaman semusim, ada lagi perubahan penggunaan lahan yang cukup signifikan menyebakan banjir yaitu penggunaan situ dan rawa untuk pemukiman. Perubahan ini menyebabkan aliran permukaan dari bagian hulunya tidak mempunyai tempat lagi untuk transit . Aliran permukaan akan langsung mengalir dan menambah aliran dari sekitarnya sehingga menyebakan banjir atau menggenangi pemukiman di daerah bekas situ atau rawa. Kawasan pemukiman Pantai Indah Kapuk (PIK) dahulunya merupakan daerah berawa hutan mangrove yang berfungsi untuk menampung air, kemudian diuruk dan dijadikan kawasan pemukiman.

Problematika perubahan penutupan lahan yang tidak mengikuti kaidah pengelolaan DAS yang benar ternyata sangat dipengaruhi pula oleh pemahaman yang keliru atas teknologi konservasi tanah. Akibatnya, teknologi konservasi tanah diterapkan tidak pada tempatnya. Misalnya, pada lahan-lahan yang terjal yang hanya diperbolehkan untuk hutan oleh masyarakat tetap diusahakan untuk usaha tani tanaman semusim yang membutuhkan pengolahan lahan sangat intensif. Meskipun masyarakat dalam berusahataninya telah menggunakan teknologi konservasi tanah, namun erosi masih akan tetap tinggi. Apalagi bila teknik pengolahan tanah diupayakan untuk mengurangi peresapan air ke dalam tanah, misalnya sawah, maka yang akan terjadi adalah tidak adanya air yang meresap ke dalam tanah ketika hujan turun, tetapi air langsung menjadi limpasan. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan banjir.

Solusi
Seperti yang telah kita ketahui bersama. Pemerintah Jakarta telah melakukan berbagai cara untuk menanggulangi banjir tahunan Jakarta ini. Sepertinya hal ini memang sulit dilakukan, karena alam sudah terlanjur rusak. Namun, hal yang harus diingat adalah tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki. Walau kerusakan alam sudah parah, kita dapat menghentikannya agar kerusakan tidak meluas dan tidak bertambah parah lagi.

Segala informasi yang telah didapatkan, hendaklah ditransformasikan sesuai dengan peran kita dalam realita semesta. Peran penulis di sini adalah sebagai mahasiswa. Mahasiswa atau yang juga dikenal sebagai agent of change memang dituntut untuk selalu mampu berkontribusi besar untuk bangsa. Mahasiswa harus bisa melakukan perubahan ke arah yang lebih baik atau setidaknya menggerakkan masyarakat Indonesia. Karena, bangsa-bangsa lain pun di dunia maju karena kalangan terpelajarnya (mahasiswa). Oleh sebab itu, ketidakpedulian akan alam harus dibuang jauh dari pikiran kita. Apalagi mengenai Jakarta yang merupakan ibukota negara tercinta kita, Indonesia. Banjir ini memang sangat memprihatinkan karena terjadi secara rutin, pada setiap musim hujan. Berikut beberapa solusi yang dapat ditawarkan untuk mencegah bertambah parahnya banjir Jakarta di masa yang akan datang.


Solusi Jangka Pendek
a. Peningkatan kapasitas saluran drainase
Kapasitas saluran drainase yang tidak memadai menyebabkan aliran sungai meluap dan mengenangi daerah-daerah di sekitarnya. Salah satu cara untuk mengurangi terjadinya luapan banjir adalah dengan meningkatkan kapasitas saluran yang ada. Khusus untuk daerah Jakarta, misalnya, ukuran atau kapasitas saluran drainase direncanakan sesuai dengan perkembangan perubahan penggunaan lahan khususnya perkembangan pemukiman.

b. Pembuatan dam penahan air dan mempertahankan situ-situ yang masih ada
Salah satu cara untuk menghambat larinya air permukaan adalah dengan membuat dam penahan air terutama di daerah hulu. Khusus untuk Jakarta ditambah dengan mempertahakan situ-situ yang masih ada. Karena dengan memfungsikan situ-situ yang ada berarti kita mengembalikan keseimbangan air seperti sebelumnya. Situ-situ ini kemudian dijaga agar tidak mengalami kerusakan dan dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

c. Pembuatan sumur resapan
Khusus untuk daerah dengan pemukiman di daerah hulu dan tengah perlu diterapkan peraturan yang ketat tentang kewajiban pembuatan sumur resapan. Pembuatan sumur resapan pada prinsipnya adalah mempercepat aliran permukaan menjadi aliran bawah permukaan (sub surface flow). Tindakan ini walaupun yang diresapkan hanya sedikit tetapi kalau dilaksanakan oleh seluruh pemilik rumah maka hasil air yang bisa di dirubah menjadi aliran bawah permukaan akan sangat besar. Akibatnya banjir akan jauh berkurang dan persediaan air tanah akan meningkat.

d. Rehabilitasi Daerah Tangkapan Air
Melakukan kegiatan reboisasi (minimal 1 pohon 1 rumah) dan pengembangan hutan rakyat di lahan milik.


Solusi Jangka Panjang
a. Adanya komitmen penegakan hukum mengenai lingkungan. Karena hal ini berkaitan dengan masa depan anak cucu kita.

b. Perlu adanya pembangunan yang merata di Indonesia, sehingga pusat perekonomian tidak melulu terpusat di Jakarta. Dengan berkurangnya penduduk Jakarta, maka wilayah hijau sebagai daerah resapan air tidak beralih fungsi menjadi lahan pemukiman penduduk.

c. Perlu dilakukan penyuluhan lingkungan yang ditujukan untuk masyarakat terdidik yang justru merupakan aktor utama perusak lingkungan. Selain itu, peningkatan kesadaran akan dampak besar yang akan terjadi bila manusia tidak juga mencoba memperbaiki alam juga sangat diperlukan.

Solusi ini jelas tidak akan mampu menyelesaikan masalah bila hanya beberapa orang saja yang menerapkannya. Solusi ini membutuhkan dukungan dari seluruh masyarakat khususnya Jakarta, umumnya Indonesia. Demi terwujudnya Jakarta, Indonesia, Dunia, dan Semesta yang lebih baik.


Daftar Pustaka:
Arif. 2006. Analisis penanganan pemerintah dalam mengatasi bahaya pasca bencana banjir yang melanda DKI Jakarta. http://www.scribd.com/doc/22150753/lomba-fisip (diakses tanggal 12 November 2009).

Tim Peneliti BTP DAS Surakarta. Banjir, Penyebab, dan Solusinya. Dipresentasikan dalam rangka Hari Bakti Departemen Kehutanan ke -19 di BTP DAS Surakarta, 20 Maret 2002.

Kamis, 12 November 2009

Efek Rumah Kaca terhadap Bencana Ekologis Dunia

Manusia di seluruh dunia kini mengakui bahwa perubahan iklim telah dan akan terus mengakibatkan bencana besar di berbagai belahan dunia, mulai dari pemanasan suhu permukaan bumi sampai ke kenaikan permukaan air laut, banjir, longsor, dan sebagainya. Perubahan iklim ini telah sukses meresahkan manusia di seluruh dunia, walaupun masalah perubahan iklim sebenarnya disebabkan oleh suatu sistem global yang tidak adil yang secara sengaja atau tidak sengaja diciptakan oleh manusia itu sendiri. Ketidakbertanggungjawaban manusia terhadap lingkungan kerap tidak disadari perlahan-lahan akan merusak bumi. Salah satu inti persoalan semakin parahnya masalah perubahan iklim ini adalah ketidaksediaan negara-negara industri maju dan berkembang untuk melaksanakan semua kewajiban mereka sebagai penghasil emisi rumah kaca terbesar selama ini.


Efek rumah kaca


Fenomena efek rumah kaca atau green house effect ini pertama kali ditemukan oleh fisikawan Perancis Joseph Fourier pada 1824 dan di-buktikan secara kuantitatif oleh Svante Arrhenius pada 1896. Penyebutan nama efek rumah kaca sebenarnya didasarkan atas peristiwa alam yang mirip dengan yang terjadi di rumah kaca yang biasa digunakan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan untuk menghangatkan tanaman di dalamnya. Panas yang masuk ke dalam rumah kaca akan sebagian terperangkap di dalamnya, tidak dapat menembus ke luar kaca, sehingga menghangatkan seisi rumah kaca tersebut.

Efek rumah kaca adalah suatu fenomena dimana gelombang pendek radiasi matahari menembus atmosfer dan berubah menjadi gelombang panjang ketika mencapai permukaan bumi. Setelah mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang tersebut dipantulkan kembali ke atmosfer. Namun tidak seluruh gelombang yang dipantulkan itu dile¬pas¬kan ke angkasa luar. Sebagian gelombang panjang dipantulkan kembali oleh lapisan gas rumah kaca di atmosfer ke permukaan bumi. Gas rumah kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan untuk menyerap radiasi matahari yang dipantulkan oleh bumi sehingga bumi menjadi semakin panas.

Perubahan panjang gelombang ini terjadi karena radiasi sinar matahari yang datang ke bumi adalah gelombang pendek yang akan memanaskan bumi. Secara alami, agar tercapai keadaan setimbang dimana keadaan setimbang di permukaan bumi adalah sekitar 300 K, panas yang masuk tadi didinginkan. Untuk itu sinar matahari yang masuk tadi harus diradiasikan kembali. Dalam proses ini yang diradiasikan adalah gelombang panjang infra merah.

Proses ini dapat berlangsung berulang kali, sementara gelombang yang masuk juga terus menerus bertambah. Hal ini mengakibatkan terjadinya akumulasi panas di atmosfer, sehingga suhu permukaan bumi meningkat. Hasil penelitian menyebutkan bahwa energi yang masuk ke permukaan bumi: 25 % dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfir, 25 % diserap awan, 46 % diabsorpsi permukaan bumi, dan sisanya yang 4 % dipantulkan kembali oleh permukaan bumi (beberapa penelitian memberikan hasil yang berbeda).

Efek rumah kaca itu sendiri terjadi karena naiknya konsentrasi gas CO2 (karbondioksida) dan gas-gas lainnya seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), gas metan (CH4), kloroflourokarbon (CFC) di atmosfir. Kenaikan konsentrasi CO2 itu sendiri disebabkan oleh kenaikan berbagai jenis pembakaran di permukaan bumi seperti pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara, dan bahan-bahan organik lainnya yang melampaui kemampuan permukaan bumi antuk mengabsorpsinya. Bahan-bahan di permukaan bumi yang berperan aktif untuk mengabsorpsi hasil pembakaran tadi ialah tumbuh-tumbuhan, hutan, dan laut. Jadi bisa dimengerti bila hutan semakin gundul, maka panas di permukaan bumi akan naik.

Energi yang diabsorpsi dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra merah oleh awan dan permukaan bumi. Hanya saja sebagian sinar infra merah tersebut tertahan oleh awan, gas CO2, dan gas lainnya sehingga kembali ke permukaan bumi. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 dan gas-gas lain di atmosfer maka semakin banyak pula gelombang panas yang dipantulkan bumi diserap atmosfer. Dengan perkataan lain semakin banyak jumlah gas rumah kaca yang berada di atmosfer, maka semakin banyak pula panas matahari yang terperangkap di permukaan bumi. Akibatnya suhu permukaan bumi akan naik.

Dengan meningkatnya suhu permukaan bumi akan mengakibatkan perubahan iklim yang tidak biasa. Selain itu hutan dan ekosistem pun akan terganggu. Bahkan dapat mengakibatkan hancurnya gunung-gunung es di kutub yang pada akhirnya akan menga-kibatkan naiknya permukaan air laut sekaligus menaikkan suhu air laut.


Bencana Ekologis
Peningkatan suhu dan perubahan iklim yang tidak biasa ini dapat mengganggu kelangsungan semua ekosistem alam dan mempengaruhi kondisi alam yang akan terakumulasi sehingga terjadi fenomena berubahnya tatanan ekologi. Perubahan tatanan ekologi ini disebut bencana ekologis. Parahnya, perubahan ini terjadi begitu cepat akibat gagalnya pengurusan dan pengelolaan lingkungan oleh manusia yang berujung pada terjadinya bencana di setiap belahan dunia.

Meningkatnya suhu udara dari waktu ke waktu rata-rata pertahun mencapai 1,4 – 5,8 derajat celcius hingga tahun 2100 yang dapat mempengaruhi kenaikan muka air laut mencapai 88 meter, pemanasan suhu global di udara memberi dampak terhadap keseimbangan energi dalam suatu wilayah hingga mengakibatkan kekeringan berkepanjangan, menurunnya produktifitas pertanian, rusaknya suatu ekosistem dan tatanan kehidupan manusia dalam jangka panjang.

Dampak yang terbesar akibat dari perubahan iklim di dunia adalah bencana kekeringan yang terjadi yang terjadi akibat meningkatnya suhu dari rata-rata suhu normalnya sehingga terjadi perubahan musim yang sangat signifikan, hal ini berdampak pada kondisi lahan dan mempengaruhi produktifitas pertanian untuk menghasilkan dapat berdampak pada rusaknya satu ekosistem, tatanan kehidupan manusia, dan kerusakan ekologi. Selain itu dapat mempengaruhi ketersediaan sumberdaya air baik yang ada di permukaan maupun yang ada di bawah permukaan, menjadi fenomena sosial ketika banyak terjadi kekeringan, berkurangnya daya tahan pangan dan hilangnya keberfungsiaan lahan.


Daftar 25 negara penghasil emisi CO2 terbesar :
No Negara Jumlah CO2 yang dihasilkan (dalam ton)
1 Amerika 2.790.000.000
2 China 2.680.000.000
3 Rusia 661.000.000
4 India 583.000.000
5 Jepang 400.000.000
6 Jerman 356.000.000
7 Australia 226.000.000
8 Afrika Selatan 222.000.000
9 United Kingdom 212.000.000
10 Korea Selatan 185.000.000
11 Polandia 166.000.000
12 Italia 165.000.000
13 Taiwan 153.000.000
14 Spanyol 148.000.000
15 Kanada 144.000.000
16 Turki 102.000.000
17 Meksiko 101.000.000
18 Indonesia 92.900.000
19 Iran 86.200.000
20 Ukraina 79.100.000
21 Thailand 76.400.000
22 Arab Saudi 75.900.000
23 Kazakhstan 62.300.000
24 Malaysia 61.100.000
25 Belanda 58.900.000


Berdasarkan data di atas, Indonesia tercatat sebagai penghasil salah satu gas rumah kaca (CO2) ke 18 di dunia. Walaupun bukan yang pertama, yang jelas bukan pula merupakan suatu prestasi, Indonesia sebagai negara yang sedang memacu pertumbuhan industri dan memiliki jumlah penduduk yang besar tentu sangat berpotensi untuk menghasilkan gas rumah kaca tersebut. Perhatian Indonesia pada isu perubahan iklim global telah diwujudkan dalam bentuk penandatanganan konvensi tentang perubahan iklim oleh presiden RI pada tahun 1992. Selanjutnya komitmen nasional terhadap isu ini diwujudkan secara legal melalui ratifikasi konvensi tersebut dalam bentuk UU No. 6 tahun 1994. Indonesia memiliki peran strategis dalam pengurangan emisi gas rumah kaca mengingat posisi sebagai negara ekuator, memiliki hutan tropis, serta sebagai negara kepulauan.

Upaya pengurangan risiko bencana dapat dilakukan dengan melakukan tahapan manajemen bencana yang meliputi pencegahan dan mitigasi; kesiapsiagaan; manajemen emergensi, pemulihan dan rencana aksi yang dapat berimplikasi terhadap pengurangan risiko bencana. Upaya peredaman risiko bencana merupakan upaya terpadu dan terencana yang dilakukan dalam manajemen bencana sehingga dapat diimplementasikan ke dalam pengelolaan lingkungan yang berbasis pengurangan risiko bencana, dengan mengurangi efek pemanasan global yang saling berhubungan antara pengurangan risiko bencana, pengurangan global warming dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Peran kita sebagai mahasiswa yang merupakan generasi penerus bangsa bahkan dunia sepatutnya dimainkan dengan baik. Hal minimal yang dapat dilakukan adalah menyadari betapa krusialnya masalah ini. Kesadaran yang mendalam diharapkan akan memacu generasi penerus bangsa ini untuk mulai berpikir untuk semesta dan melakukan sesuatu untuk rumah tinggalnya (bumi) yang semakin lama semakin rapuh dan tidak stabil. Salah satunya dengan membantu mengurangi emisi gas rumah kaca di Indonesia misalnya dengan mengurangi pemakaian AC, memperhatikan pengolahan limbah sampah, meminimalisir penggunaan kendaraan bermotor, dan tindakan-tindakan nyata lainnya, yang walau terlihat kecil dan sepele, namun bila setiap individu melakukannya maka akan tercipta perubahan besar ke arah yang lebih baik, untuk bumi yang lebih baik. Selanjutnya, melakukan perubahan konstitusional yang mendasar untuk menyusun kembali tatanan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai dan prinsip perlindungan terhadap lingkungan. Jika kita tidak bergerak sekarang, bukan hal yang mustahil anak cucu kita tidak pernah lagi melihat hijaunya alam dan indahnya dunia.


Daftar Pustaka:
Carma. 2009. Dig Deeper: Countries in the World. Available online at: http://carma.org/dig/show/world+country#top (diakses tanggal 10 November 2009).

Faiz, P. M. 2009. Jurnal Lingkungan: Perubahan Iklim Dan Perlindungan Terhadap Lingkungan: Suatu Kajian Berperspektif Hukum Konstitusi.

Hutauruk, G. 2008. Efek Rumah Kaca & Akibatnya. Available online at: http://www.pertamina.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3177&Itemid=341 (diakses tanggal 10 November 2009).

Irmansyah. 2004. Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca. Available online at: http://rudyct.com/PPS702-ipb/08234/irmansyah.pdf (diakses tanggal 10 November 2009).

Wacana, P. 2008. Bencana Ekologis Sebagai Dampak Perubahan Iklim Global Dan Upaya Peredaman Risiko Bencana. Available online at: http://www.psmbupn.org/article/bencana-ekologi-sebagai-dampak-perubahan-iklim-global-dan-upaya-peredaman-risiko-bencana.html (diakses tanggal 10 November 2009).