Rabu, 10 November 2010

Tsunami Mentawai



Mentawai adalah kepulauan yang sangat indah, yang terletak di provinsi Sumatera Barat.
Surga para peselancar.
Ombaknya besar, air lautnya biru membentang, pasirnya putih.

Namun, pada tanggal 25 Oktober 2010, bencana terjadi...
Tsunami setingga 3 m menghantam pantai indah Mentawai, menyusul gempa bumi yang terjadi sebelumnya dengan kekuatan 7,2 SR
.
Tsunami yang terjadi di Mentawai ini, memang tidak sebesar tsunami yang terjadi di Aceh beberapa tahun silam.
Efeknya sungguh memporakporanda kepulauan Mentawai ini.
Tsunami selalu mengerikan.
Ratusan orang tewas dan menghilang.
Indonesia berduka.


Tsunami adalah sejenis gelombang laut yang amat berbeda dengan gelombang laut lainnya yang ditimbulkan pasang-surut ataupun akibat aksi angin. Keunikan tsunami terletak pada kecepatan rambatnya yang amat besar
namun beramplitudo kecil saat ia baru terbentuk akibat adanya gempa di laut dalam, namun amplitudo gelombangnya ini kemudian berubah menjadi besar sebagai kompensasi menurunnya kecepatan tsunami karena mendangkalnya laut sebelum ia mencapai pantai. Ini adalah suatu bentuk demonstrasi hukum kekekalan energi. Energi kinetik diwakili kecepatan tsunami sedang energi potensial digambarkan oleh amplitudonya. Untuk maksud peringatan dini, maka berikut akan ditinjau tentang tsunami lokal yakni tsunami yang tiba di pantai pada jarak sekitar 100 km dari sumber gempa atau tsunami yang membutuhkan waktu kurang dari sejam untuk mencapai pantai.

Tsunami Mentawai akhir Oktober 2010, tergolong tsunami lokal. Tsunami tersebut didahului gempa berkekuatan 7,2 pada skala Richter pukul 21.42 WIB pada kedalaman laut 20,6 km.
Informasi ini terkandung dalam pesan Local Watch Bulletin nomor 1 yang dikeluarkan PTWC (Pacific Tsunami Warning Center) pada pukul 21.49 WIB. Pusat ini bernaung di bawah NOAA yakni lembaga kelautan dan atmosfer USA.


Berdasarkan kesaksian korban Tsunami, tsunami tiba 10 menit setelah gempa, artinya pukul 21.52. Ada pula yang bersaksi menyaksikan tsunami datang sekitar pukul 22.00. Ini berarti 18 menit setelah terjadi gempa.

Lalu bagaimana Peringatan Dini dari Bencana ini bisa diketahui?
Guncangan akibat gempa sebagai peringatan dini tampaknya lebih baik sebagai peringatan dini tsunami karena minimal ada rentang waktu sekitar 10 menit untuk menghindar. Sistem tradisional (indigineous knowledge) seperti smong di Pulau Simeulue, Aceh masih terbukti ampuh. Sistem ini ada sejak tsunami tahun 1907. Namun yang perlu diingat adalah bahwa tidak setiap gempa akan menimbulkan tsunami.

Itulah sebabnya kita masih membutuhkan produk IPTEK seperti buletin PTWC di atas walaupun kita mengetahui bahwa rentang waktu untuk mempersiapkan diri adalah begitu singkat.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana sistem peringatan dini tersebut disampaikan ke warga?
Kalau dalam bentuk goncangan gempa mungkin para warga bisa merasakannya dan mereka segera lari ke tempat yang sesuai (daratan yang lebih tinggi). Namun apabila peringatannya hanya via internet/email atau telepon seluler, bagaimana menyebarluaskannya kepada warga yang mungkin saja belum terjangkau fasilitas semacam itu?
Hal ini sedang menjadi fokus penelitian oleh banyak peneliti.

Lalu, apa yang bisa dilakukan?
1. Menanam tumbuhan di bibir pantai untuk mencegah terjangan Tsunami
Oleh pakar Tsunami ITB, Dr Hamzah Latif, telah dibuat simulasi kronologis Tsunami yang menerjang Mentawai, dengan melihat sisa-sisa (deposit) yang ditinggalkan tsunami dapat dilihat bahwa pengaruh tumbuhan dalam mengurangi energi tsunami baik di tepi pantai maupun di darat sangat berperan. Dokumentasi peristiwa tsunami pada berbagai media yang begitu mudah diakses melalui internet menunjukkan bahwa pepohonan masih mampu bertahan dari terjangan tsunami dibanding bangunan. Para peneliti Jepang dan Sri Lanka telah menguji efektivitas berbagai varietas tanaman sebagai perisai tsunami. Hal ini juga mungkin bisa menjadi inspirasi para pembangun rumah untuk meniru struktur akar tanaman, misalnya bakau, agar tak lekang diterjang tsunami.

2. Mengetahui daerah aman untuk penyingkiran sementara (tempat mengungsi)
Dengan adanya peta inundasi dan run-up yang telah dibuat ahli Tsunami, kita dapat melihat lokasi yang tepat untuk menjadi tempat penyingkiran masyarakat sementara setelah mereka menerima peringatan dini. Hal yang menjadi tantangan besar bagi penyiapan peta semacam ini adalah bagaimana menentukan: kapan, di mana, dan berapa kekuatan gempa?

3. Percaya terhadap Peringatan Bencana dan mendahulukan IPTEK dibanding mitos
Selain faktor teknis di atas, keberhasilan mengurangi dampak tsunami juga tentu tergantung pada faktor manusia. Namun, melihat contoh kesuksesan mitigasi Gunung Merapi yang berada di bawah komando Dr Surono, ada harapan bahwa kita pun juga dapat melakukannya pada kasus tsunami jika jarak waktu tiba tsunami yang begitu cepat dapat kita atasi.

4. Relokasi Warga
Relokasi dapat dilakukan dengan memindahkan pemukiman penduduk beberapa meter ke arah tengah pulau. Karena bisa dipastikan relokasi warga ke pulau lain akan sangat sulit dilakukan.

Analgetika

Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan rasa nyeri tanpa memiliki kerja anestesi umum.

Berdasarkan potensi kerja, mekanisme kerja dan efek samping analgetik dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :
1. Analgesik yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat (hipoanalgetik, kelompok opiat/narkotika)
2. Analgesik yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer dengan sifat antipiretik dan kebanyakan juga mempunyai sifat antiimflamasi dan antireumatik.

Nyeri
Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan ancaman kerusakan jaringan. Keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi. Nyeri merupakan suatu perasaan subjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Nyeri dapat disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis (kalor atau listrik) dapat menmbulkan kerusakan jaringan.

Mekanisme terjadinya nyeri ada 4 macam, yaitu:
a. Transduksi
Proses dimana nyeri diubah menjadi suatu aktivitas listrik yang akan diterima ujung-ujung syaraf. Terjadi perubahan patologis karena mediator nyeri mempengaruhi juga nosiseptor diluar daerah daerah trauma nyeri yang meluas. Selanjutnya terjadi proses sensitisasi perifer, yaitu menurunnya nilai ambang rangsang nosiseptor karena pengaruh mediator dan penurunan pH, akibatnya nyeri dapat timbul. Rangsangan nyeri diubah menjadi depolarisasi membran reseptor yang kemudian menjadi impuls syaraf.

b. Transmisi
Proses penyampaian impuls nyeri dari nosiseptor saraf perifer melewati kornu dosalis, dari spinalis menuju korteks serebri. Transmisi sepanjang akson berlangsung karena proses polarisasi, sedangkan dari neuron presinaps ke pasca sinaps melewati neurotransmitor.

c. Modulasi
Proses pengendalian internal sistem saraf, dapat meningkatkan atau mengurangi penerusan impuls nyeri. Modulasi nyeri dapat timbul di nosiseptor perifer medula spinalis.

d. Persepsi
Hasil rekonstruksi SSP tentang impuls nyeri yang diterima. Rekonstruksi merupakan hasil interaksi sistem saraf sensoris, informasi kognitif (korteks serebri) dan pengalaman emosional. Persepsi menentukan berat ringan nyeri yang dirasakan.

Atas dasar farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar, yakni:
a. Analgesik Narkotika (Opioid)
Analgesik narkotika merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Meskipun memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain, golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri yang sangat hebat. Berbeda dengan golongan analgesik non narkotik, jenis obat ini dapat menimbulkan efek adiksi (ketagihan) jika digunakan secara berulang, maka usaha untuk mendapatkan suatu analgesik yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapatkan analgesik yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi. Contoh obat analgesik narkotika adalah morfin (opium).

Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang mirip morfin. Istilah ini berasal dari kata narkosis, bahasa Yunani yang berarti stupor. Istilah narkotik telah lama ditinggalkan jauh sebelum ligan yang mirip opioid endogen dan reseptor untuk zat ini. Dengan ditemukannya obat yang bersifat campuran agonis dan antagonis opioid yang tidak meniadakan ketergantungan fisik akibat morfin, maka penggunaan istilah analgesik narkotik untuk pengertian farmakologi tidak sesuai.

Golongan obat opioid (narkotika) adalah :
1. Obat yang berasal dari opium-morfin
2. Senyawa semisintetik morfin
3. Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.
Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid. Reseptor tempat terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor opioid.

b. Analgesik Non-narkotika
Mekanisme kerja analgesik non narkotika adalah menghambat biosintesis prostaglandin dengan penghambatan terhadap kerja enzim siklooksigenase. Prostaglandin berfungsi sebagai penghantar sensasi nyeri dan juga faktor proteksi pada keseimbangan sekresi saluran cerna. Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir memberikan banyak penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efek yang ditimbulkan berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).

Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arahidonat menjadi PGG2 terganggu. Karena adanya penghambatan sintesis prostaglandin sebagai penghantar rasa nyeri, biasanya diikuti dengan adanya efek samping seperti tukak lambung (ulcus pepticum). Prostaglandin dalam keadaan normal dalam tubuh berfungsi sebagai faktor proteksi bersama asam lambung. Jika prostaglandin dihambat maka akan terjadi ketidakseimbangan pada saluran gastrointestinal yang menyebabkan sekresi asam lambung meningkat dan terjadilah tukak lambung.

Obat analgesik non narkotika digolongkan sebagai berikut :
1. Turunan salisilat, misal : asetosal, salisilamid
2. Turunan p-aminofenol, misal : asetaminofen (Parasetamol)
3. Turunan pirazolon, misal : fenilbutazon, oksibutazon
4. Turunan asam fenilpropionat, misal : ibuprofen, naproksen, ketoprofen
5. Turunan indol, misal : indometacin
6. Turunan antranilat, misal : asam mefenamat, meklofenamat
7. Turunan oksikam, misal : piroksikam

Asam Mefenamat:
Sifat fisiko kimia
Pemerian serbuk hablur, putih atau hampir putih; melebur pada suhu lebih kurang 230oC disertai peruraian, larut dalam larutan alkali hidroksida; agak sukar larut dalam kloroform; sukar larut dalam etanol dan dalam methanol; praktis tidak larut dalam air.

Asam mefenamat memiliki kelarutan yang kecil dalam air (0,0041 g/100 ml (25°C) dan 0,008 g/100 ml (37°C) pada pH 7,1). Kelarutan asam mefenamat yang kecil dalam air menjadikan tahap penentu kecepatan terhadap bioavailabilitasnya adalah laju disolusi asam mefenamat dalam media aqueous.

Farmakokinetika
Asam mefenamat diabsorbsi dengan cepat dari saluran gastrointestinal apabila diberikan secara oral. Kadar plasma puncak dapat dicapai 1 sampai 2 jam setelah pemberian 2x250 mg kapsul asam mefenamat; Cmax dari asam mefenamat bebas adalah sebesar 3.5 μg/mL dan T1/2 dalam plasma sekitar 3 sampai 4 jam. Pemberian dosis tunggal secara oral sebesar 1000 mg memberikan kadar plasma puncak sebesar 10 μg/mL selama 2 sampai 4 jam dengan T1/2 dalam plasma sekitar 2 jam. Pemberian dosis ganda memberikan kadar plasma puncak yang proporsional tanpa adanya bukti akumulasi dari obat. Pemberian berulang asam mefenamat (kapsul 250 mg) menghasilkan kadar plasma puncak sebesar 3.7 sampai 6.7 μg/mL dalam 1 sampai 2.5 jam setelah pemberian masing-masing dosis.

Asam mefenamat memiliki dua produk metabolit, yaitu hidroksimetil dan turunan suatu karboksi, keduanya dapat diidentifikasi dalam plasma dan urin. Asam mefenamat dan metabolitnya berkonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian besar diekskresikan lewat urin, tetapi ada juga sebagian kecil yang melalui feces. Pada pemberian dosis tunggal, 67% dari total dosis diekskresikan melalui urin sebagai obat yang tidak mengalami perubahan atau sebagai 1 dari 2 metabolitnya. 20-25% dosis diekskresikan melalui feces pada 3 hari pertama.

Farmakodinamika
Asam mefenamat dapat digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri sedang dalam berbagai kondisi seperti nyeri otot, nyeri sendi, nyeri ketika atau menjelang haid, sakit kepala dan sakit gigi. Secara terperinci efek dari asam mefenamat antara lain:
1. Nyeri perut ketika masa menstruasi (dysmenorrhoea)
2. Pendarahan yang tidak normal pada saat menstruasi
3. Sakit kepala
4. Penyakit yang disertai dengan radang
5. Nyeri otot (myalgia)
6. Osteoarthritis
7. Nyeri dan inflamasi
8. Nyeri pada saat melahirkan
9. Nyeri ketika dioperasi
10. Sakit gigi

Karena asam mefenamat termasuk kedalam golongan (NSAID), maka kerja utama kebanyakan nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID) adalah sebagai penghambat sintesis prostaglandin, sedangkan kerja utama obat antiradang glukokortikoid menghambat pembebasan asam arakidonat.

Asam mefenamat bekerja dengan membloking aktivitas dari suatu enzim dalam tubuh yang dinamakan siklooksigenase. Siklooksigenase adalah enzim yang berperan pada beberapa proses produksi substansi kimia dalam tubuh, salah satunya adalah prostaglandin. Prostaglandin diproduksi dalam merespons kerusakan/adanya luka atau penyakit lain yang mengakibatkan rasa nyeri, pembengkakan dan peradangan. Prostaglandin (PG) sebenarnya bukan sebagai mediator radang, lebih tepat dikatakan sebagai modulator dari reaksi radang. Sebagai penyebab radang, PG bekerja lemah, berpotensi kuat setelah berkombinasi dengan mediator atau substansi lain yang dibebaskan secara lokal, autakoid seperti histamin, serotonin, PG lain dan leukotrien. Prostaglandin paling sensibel pada reseptor rasa sakit di daerah perifer. Prostaglandin merupakan vasodilator potensial, dilatasi terjadi pada arteriol, prekapiler, pembuluh sfingter dan postkapiler venula. Walaupun PG merupakan vasodilator potensial tetapi bukan sebagai vasodilator universal. Selain PG dari alur sikooksigenase juga dihasilkan tromboksan. Tromboksan A2 berkemampuan menginduksi agregasi platelet maupun reaksi pembebasan platelet.

Efek Samping dan Dosis
Efek samping asam mefenamat yang paling menonjol adalah kemampuannya merangsang dan gejala iritasi terhadap mukosa lambung. Oleh karena itu, asam mefenamat sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang mempunyai sakit mag atau gangguan lambung lainnya. Risiko perdarahan lambung ini akan lebih besar lagi pada peminum alkohol. Untuk mengurangi risiko gangguan lambung, sebaiknya obat-obat yang mengandung asam mefenamat dikonsumsi bersama makanan atau susu.

Selain dapat menyebabkan gangguan lambung (kembung, nyeri, keram, dan perdarahan lambung), Asam mefenamat juga dapat menyebabkan sakit kepala, pusing, diare, mual dan muntah bagi orang-orang yang peka. Kadang-kadang juga dapat terjadi gangguan penglihatan dan pendengaran, penglihatan menjadi kabur dan telinga berdenging. Asam mefenamat juga dapat menyebabkan kantuk. Karena itu, orang yang sedang mengonsumsi asam mefenamat dilarang mengendarai kendaraan, menjalankan mesin, dan melakukan aktivitas lain yang memerlukan kesadaran tinggi.

Perdarahan yang cukup parah di lambung dapat terjadi jika mengonsumsi asam mefenamat dalam jangka waktu cukup lama ditandai dengan kotoran (faeces) berubah warna menjadi kehitaman, atau terdapat bercak-bercak darah dan terjadi muntah darah. Over dosis asam mefenamat biasanya ditandai dengan mual, muntah, perdarahan lambung, pusing, sakit kepala, diare, telinga berdenging, penglihatan kabur, berkeringat banyak, napas melemah, kejang, dan dapat mengakibatkan kematian.

Selain tidak boleh diberikan kepada penderita gangguan lambung dan peminum alkohol, asam mefenamat juga tidak boleh diberikan kepada orang-orang yang alergi terhadap salah satu obat golongan NSAIDS (misalnya yang mengandung ketoprofen, naproxen, diclofenac, fenoprofen, flurbiprofen, indomethacin, nabumetone, oxaprozin, piroxicam, dan lain-lain), penderita gangguan jantung, ginjal, atau hati, dan penderita hipertensi (tekanan darah tinggi).

Wanita hamil juga sebaiknya tidak mengonsumsi asam mefenamat, sebab walaupun belum dapat dipastikan asam mefenamat dapat membahayakan janin di dalam kandungan, beberapa obat yang satu golongan dengan asam mefenamat terbukti dapat mengganggu perkembangan jantung janin di dalam kandungan.

Asam mefenamat juga dapat keluar bersama air susu ibu (ASI). Oleh karena itu, wanita menyusui sebaiknya tidak mengonsumsi asam mefenamat. Asam mefenamat sebaiknya juga tidak diberikan pada anak-anak atau pasien usia lanjut, sebab dapat menyebabkan efek samping yang lebih parah. Karena efek toksiknya maka di Amerika Serikat obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan kepada anak dibawah 14 tahun dan wanita hamil, dan pemberiannya tidak lebih dari 7 hari.

Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari. Dosis yang dianjurkan untuk nyeri akut pada dewasa dan anak diatas 14 tahun adalah 500 mg sebagai dosis awal yang diikuti dengan 250 mg tiap 6 jam bila diperlukan, biasanya tidak lebih dari satu minggu. Untuk mengatasi nyeri haid, dosis yang dianjurkan adalah 500 mg sebagai dosis awal yang diikuti dengan 250 mg tiap 6 jam, penggunaan tidak boleh lebih dari 2 sampai 3 hari yang dimulai saat menstruasi hari pertama atau pada saat adanya rasa nyeri.
- Sediaan yang beredar di pasaran
Ponstan, mefinal, mefamat, stanza, molasic dan lain sebagainya.

Asetosal (C9H8O4)
Sifat fisika kimia
Asam asetilsalisilat merupakan hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak berbau atau hamper tidak berbau, dan rasa asam. Agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol (95%) P, larut dalam kloroform P dan dalam eter P. Titik leleh antara 141°C sampai 144°C.

Farmakokinetik
Resorpsinya cepat dan praktis lengkap, terutama di bagian pertamam duodenum. Namun, karena bersifat asam, sebagian zat diserap pula di lambung. Mulai efek analgeis dan antipiretisnya cepat, yakni setelah 30 menit dan bertahan 3-6 jam, kerja antiradangnya baru nampak setelah 1-4 hari. Resorpsi dari rektum (suppositoria) lambat dan tidak emnentu, sehingga dosisnya perlu digandakan. Dalam hati, zat ini segera dihidrolisa menjadi asam salisilat dengan daya anti nyeri lebih ringan.

Farmakodinamik
Asetosal atau asam asetil salisilat merupakan senyawa anti inflamasi non steroid yang juga menunjukkan aktivitas antitrombosis, analgesik dan antipiretik. Asetosal secara tradisional merupakan analgesik anti iinflamasi pilihan pertama, tapi banyak dokter sekarang lebih suka memilih AINS (antiinflamasi non steroid) lain yang mungkin lebih dapat diterima dan lebih menyenangkan bagi pasien. Dalam dosis tinggi yang umum, efek anti inflamasi asetosal sama dengan efek AINS lain.

Selain sebagai analgetikum, asetosal digunakan sebagai alternatif dari antikoagulansia sebagai obat mencegah infark kedua setelah terjadi serangan. Obat ini juga efektif untuk profilaksis serangan stroke kedua setelah menderita TIA (Transient Ischaemic Attack = serangan kekurangan darah sementara di otak), terutama pada pria.

Efek samping dan Dosis
Asetosal tidak dianjurkan bila lambung pasien tidak tahan karena sifat asamnya. Asetosal dalam dosis 1 tablet dewasa menyebabkan darah menjadi encer sehingga perdarahan (seperti dalam haid atau terluka) akan sulit berhenti karena darah tidak dapat membeku. Pada dosis besar menyebabkan hilangnya efek pelindung dari prostasiklin (PgI2) terhadap mukosa lambung.

Asetosal dapat emenimbulkan efek spesifik, seperti reaksi alergi kulit dan tinnitus (telinga berdengung) pada dosis lebih tinggi. Dilarang pemberikan asetosal (aspirin) pada anak dibawah usia 16 tahun (kecuali pada kondisi medis yang khusus). Pelarangan penggunaan asetosal pada anak-anak terutama karena berhubungan dengan penyakit Reye’s syndrome. Wanita hamil tidak dianjurkan menggunakan asetosal dalm dosis besar, terutama pada triwulan dan sebelum persalinan, karena lama kehamilan dan persalinan dapat diperpanjang.

Asetosal 150-300 mg sehari digunakan untuk mengurangi kematian setelah infark miokard. Asetosal dosis rendah (misal 75 atau 100 mg sehari) juga diberikan setelah pembedahan bypass.
Dosis pada nyeri dan demam oral 4 dd 0,5-1 g p.c., maksimum 4 g sehari, anak-anak sampai 1 tahun 10 mg/kg 3-4 kali sehari, 1-12 thn 4-6 dd, diatas 12 thn 4 dd 320-500 mg, maksimum 2 g/hari. Rektal dewasa 4 dd 0,5-1 g, anak-anak sampai 2 thn 2 dd 20 mg/kg, di atas 2 thn 3 dd 20 mg/kg p.c.

Parasetamol
Derivat asetanilid ini merupakan metabolit dari fenasetin. Khasiatnya analgetis dan antipiretis, tetapi tidak antiradang. Dewasa ini dianggap aman sebagai zat antiyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan mandiri). Efek analgetisnya diperkuat oleh kafein dengan kira-kira 50%.

Farmakokinetik
Resorpsinya dari usus cepat dan praktis tuntas, secara rektal lebih lambat. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam.obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol dan 30% fenasetin terikat protein plasma. Kedua obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Dalam hati, zat ini diuraikan menjadi metabolit-metabolit toksik yang diekskresi dengan kemih sebagai konyugat-glukuronida dan sulfat.

Farmakodinamik
Parasetamol (asetaminofen) memiliki efek sebagai anti-piretik tetapi juga memiliki efek analgesik dan efek anti-inflamasinya kurang bermakna. Parasetamol relatif lebih aman dibanding obat-obat lainnya yang terdapat dalam golongan ini. Tidak merangsang asam lambung sehingga dapat diminum saat perut kosong. Pada dosis tinggi dapat memperkuat antikoagulansia, dan pada dosis biasa tidak interaktif. Masa paruh kloramfenikol dapat sangat diperpanjang. Kombinasi dengan obat AIDS zidovudin meningkatkan resiko akan neuropenia.

Efek samping dan Dosis
Efek sampingnya sangat jarang terjadi (anemia hemolitik, methemoglobinemia) dan baru muncul pada dosis yang sangat besar (> 10 g sehari). Kematian karena parasetamol disebabkan oleh kerusakan hati akibat memakan parasetamol dalam dosis yang sangat besar sekaligus. Hati-hati pemberiannya kepada penderita kelainan hati. Overdose bisa menimbulkan antara lain mual, muntah, dan anoreksia. Penanggulangannya dengan cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsistein atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelahintoksikasi. Wanita hamil dapat mengguankan parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu.

Dosis untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5-1g, maksimum 4 g/hari, pada peggunaan kronis maksimum 2,5 mg/hari. Anak-anak 4-6 dd 10 mg/hari. Rektal 20 mg/kg setiap kali, dewasa 4 dd 0,5-1 g, ana-anak usia 3-12 bulan 2-3 dd 120 mg, 1-4 thn 2-3 dd 240 mg, 4-6 thn4 dd 240 mg, dan 7-12 thn 2-3 dd 0,5 g.
Contoh sediaan di pasaran adalah biogesic, tempra, bodrexin, bodrex, sanmol, pamol .

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Farmakologi dan Terapeutik UI. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Mutchler, Ernst. 1991. Dinamika Obat. Edisi Kelima. Bandung: Penerbit ITB
Tjay, Hoan Tan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya. Edisi kelima. Cetakan kedua. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.

Selasa, 09 November 2010

Mekanisme Pembekuan Darah


Secara umum terjadi melalui tiga langkah utama:
1. Sebagai respons terhadap kerusakan pembuluh darah/ darah itu sendiri, maka rangkaian reaksi kimiawi yang kompleks terjadi dalam darah dan melibatkan banyak faktor pembekuan darah. Hasil akhirnya adalah terbentuknya suatu kompleks substansi teraktivasi yang secara kolektif disebut aktivator protrombin.
2. Aktivator protrombin mengkatalisis perubahan trombin menjadi trombin.
3. Trombin bekerja sebagai enzim untuk mengubah fibrinogen menjadi benang-benang fibrin yang merangkai trombosit, sel darah, dan plasma untuk membentuk bekuan.


Skema:




Pembentukan Aktivator Protrombin:
Mekanisme ini dimulai bila terjadi trauma pada dinding pembuluh darah dan jaringan yang berdekatan pada darah, pada setiap kejadian tersebut, mekanisme ini akan menyebabkan pembentukan aktivator protrombin.

Aktivator protrombin ini dibentuk melalui 2 cara, yaitu jalur ekstrinsik yang dimulai dengan terjadinya trauma pada dinding pembuluh dan jalur intrinsik yang berawal di dalam darah itu sendiri.

Langkah-langkah jalur ekstrinsik, yaitu pelepasan faktor jaringan atau tromboplastin jaringan, selanjutnya mengaktifasi faktor X yang dibentuk oleh kompleks lipoprotein dari faktor jaringan dan bergabung dengan faktor VII, kemudian dengan hadirnya ion Ca2+ akan membentuk faktor X yang teraktivasi. Selanjutnya faktor X yang teraktivasi tersebut akan segera berikatan dengan fosfolipid jaringan, juga dengan faktor V untuk membenuk senyawa yang disebut aktivator protrombin.

Langkah-langkah jalur intrinsik, yaitu pengaktifan faktor XII dan pelepasan fosfolipid trombosit oleh darah yang terkena trauma, kemudian faktor XII yang teraktivasi ini akan mengaktifkan faktor XI, kemudian faktor XI yang teraktivasi ini akan mengaktifkan faktor IX, faktor IX yang teraktivasi bekerja sama dengan faktor VIII terakivasi dan dengan fosfolipid trombosit dan faktor 3 dari trombosit yang rusak, akan mengkatifkan faktor X. Disini jelas bahwa bila faktor VIII atau trombosit kurang maka langkah ini akan terhambat. Faktor VIII adalah faktor yang tidak dimiliki oleh penderita hemofilia. Trombosit tidak dimiliki oleh penderita trombositopenia. Faktor X yang teraktivasi akan bergabung dengan faktor V dan trombosit untuk membentuk suatu kompleks yang disebut aktivator protrombin.


Perubahan Trombin Menjadi Trombin:
Setelah aktivator protrombin terbentuk akibat pecahnya pembuluh darah maka dengan adanya ion Ca2+ dalam jumlah yang mencukupi, akan menyebabkan perubahan protrombin menjadi trombin. Trombosit juga berperan dalam pengubahan protrombin menjadi trombin, karena banyak protrombin mula-mula melekat pada reseptor protrombin pada trombosit yang telah berikatan pada jaringan yang rusak. Pengikatan ini akan mempercepat pembentukan trombin dan protrombin yag terjadi dalam jaringan dimana pembekuan diperlukan.

Protrombin adalah protein plasma yang tidak stabil dan dengan mudah pecah menjadi senyawa-senyawa yang lebih kecil, salah satu diantaranya trombin. Vitamin K juga sangat berperan dalam pembekuan darah karena kurangnya vitamin K akan menurunkan kadar protrombin sampai sedemikian rendahnya hingga timbul pendarahan.


Perubahan Fibrinogen Menjadi Fibrin:
Trombin adalah enzim protein dengan kemampuan proteolitik yang bekerja terhadap fibrinogen dengan cara melepaskan empat peptida yang berberat molekul rendah dari setiap molekul fibrinogen sehingga membentuk molekul fibrin monomer yang memiliki kemampuan untuk berpolimerisasi dengan molekul fibrin monomer yang lain. Dengan cara demikian, dalam beberapa detik banyak molekul fibrin monomer berpolimerisasi menjadi benang-benang fibrin yang panjang, sehingga terbentuk retikulum bekuan.

Namun benang-benang fibrin ini ikatannya tidak kuat dan mudah diceraiberaikan, maka dalam beberapa menit berikutnya akan terjadi proses yang akan memperkuat jalinan/ikatan tersebut. Proses ini melibatkan zat yang disebut faktor stabilisasi fibrin. Trombin yang tadi berperan dalam membentuk fibrin, juga mengaktifkan faktor stabilisasi fibrin yang kemudian akan membentuk ikatan kovalen antara molekul fibrin monomer, sehingga saling keterkaitan antara benang-benang fibrin yang berdekatan sehingga menambah kekuatan jaringan fibrin secara tiga dimensi.

Bekuan darah yang terdiri dari jaringan benang fibrin yang berjalan dari segala arah dan menjerat sel-sel darah, trombosit, dan plasma. Benang-benang fibrin juga melekat pada pembuluh darah yang rusak; oleh karena itu bekuan darah menempel pada lubang di pembuluh darah dan dengan demikian mencegah kebocoran darah.

Minggu, 14 Maret 2010

Diuretikum

Diuretika adalah senyawa yang dapat menyebabkan ekskresi urine yang lebih banyak. Jika pada peningkatan ekskresi air, terjadi juga peningkatan ekskresi garam-garam, maka diuretika ini dinamakan saluretika atau natriuretika (diuretika dalam arti sempit). Walaupun kerjanya pada ginjal, diuretika bukan ‘obat ginjal’, artinya senyawa ini tidak dapat memperbaiki atau menyembuhkan penyakit ginjal, demikian juga pada pasien insufisiensi ginjal jika diperlukan dialisis, tidak akan dapat ditangguhkan dengan penggunaan senyawa ini. Beberapa diuretika pada awal pengobatan justru memperkecil ekskresi zat-zat penting urine (dengan mengurangi laju filtrasi glomerulus) sehingga akan memperburuk insufisiensi ginjal.

Dengan demikian yang dapat digunakan secara terapeutik hanyalah kemampuannya untuk mempengaruhi gerakan air dan elektrolit dalam organisme. Pengaruhnya terhadap proses transport hanya seakan-akan saja khas terhadap ginjal. Karena konsentrasi diuretika pada saat melewati nefron meningkat dengan hebat, maka efeknya pada ginjal (efek diuretik) dibandingkan dengan efek pada organ lain, dominan.

Pengembangan baru saluretika berkhasiat tinggi menyebabkan preparat lama umumnya sudah kadaluarsa. Ini terutama berlaku untuk preparat yang mengandung simplisia dengan minyak atsiri, senyawa raksa atau turunan xantin. Juga osmodiuretika dan inhibitor karbonanhidratase sudah jarang digunakan kecuali untuk indikasi khusus tertentu.

Ada beberapa jenis diuretik yang sudah dikenal dan sering digunakan dalam pengobatan pasien dengan masalah gangguan cairan dan elektrolit. Jenis-jenis tersebut adalah:

1.

Diuretik osmotic

2.

Diuretik golongan penghambat enzim karbonik anhidrase

3.

Diuretik golongan tiazid

4.

Diuretik hemat kalium

5.

Diuretik kuat

1. Diuretik osmotik

Diuretik osmotik mempunyai tempat kerja:

a. Tubuli proksimal

Diuretik osmotik ini bekerja pada tubuli proksimal dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya osmotiknya.

b. Ansa enle

Diuretik osmotik ini bekerja pada ansa henle dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan air oleh karena hipertonisitas daerah medula menurun.

c. Duktus Koligentes

Diuretik osmotik ini bekerja pada Duktus Koligentes dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan air akibat adanya papillary wash out, kecepatan aliran filtrat yang tinggi, atau adanya faktor lain.

2. Diuretik golongan penghambat enzim karbonik anhidrase

Diuretik ini bekerja pada tubuli Proksimal dengan cara menghambat reabsorpsi bikarbonat. Yang termasuk golongan diuretik ini adalah asetazolamid, diklorofenamid dan meatzolamid.

3. Diuretik golongan tiazid

Diuretik golongan tiazid ini bekerja pada hulu tubuli distal dengan cara menghambat reabsorpsi natrium klorida. Obat-obat diuretik yang termsuk golongan ini adalah klorotiazid, hidroklorotiazid, hidroflumetiazid, bendroflumetiazid, politiazid, benztiazid, siklotiazid, metiklotiazid, klortalidon, kuinetazon, dan indapamid.

4. Diuretik hemat kalium

Diuretik hemat kalium ini bekerja pada hilir tubuli distal dan duktus koligentes daerah korteks dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan sekresi kalium dengan jalan antagonisme kompetitif (sipironolakton) atau secara langsung (triamteren dan amilorida).

5. Diuretik kuat

Diuretik kuat ini bekerja pada Ansa Henle bagian asenden pada bagian dengan epitel tebal dengan cara menghambat transport elektrolit natrium, kalium, dan klorida. Yang termasuk diuretik kuat adalah ; asam etakrinat, furosemid dan bumetamid.

Penggunaan klinik diuretik

1. Hipertensi

Guna mengurangi volume darah seluruhnya hingga tekanan darah (tensi) menurun.

2. Payah jantung kronik kongestif

3. Udem paru akut

Biasanya menggunakan diuretik kuat (furosemid)

4. Sindrom nefrotik

Biasanya digunakan tiazid atau diuretik kuat bersama dengan spironolakton.

5. Payah ginjal akut

Manitol dan/atau furosemid, bila diuresis berhasil, volume cairan tubuh yang hilang harus diganti dengan hati-hati.

6. Penyakit hati kronik

Spironolakton (sendiri atau bersama tiazid atau diuretik kuat).

7. Udem otak

Diuretik osmotik

8. Hiperklasemia

Diuretik furosemid, diberikan bersama infus NaCl hipertonis.

9. Batu ginjal

Diuretik tiazid

10. Diabetes insipidus

Diuretik golongan tiazid disertai dengan diet rendah garam

11. Open angle glaucoma

Diuretik asetazolamid digunakan untuk jangka panjang.

12. Acute angle closure glaucoma

Diuretik osmotik atau asetazolamid digunakan prabedah. Untuk pemilihan obat Diuretika yang tepat ada baiknya anda harus periksakan diri dan konsultasi ke dokter.

Mekanisme Kerja Diuretika

Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi reabsorpsi natrium, sehingga pengeluarannya lewat kemih (dan demikian juga dari air) diperbanyak. Obat-obat ini bekerja khusus terhadap tubuli, tetapi juga di tempat lain, yakni:

  1. Tubuli proksimal. Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang di sini direabsorpsi secara aktif untuk kurang lebih 70%, antara lain ion Na+ dan air, begitu pula glukosa dan ureum. Karena reabsorpsi berlangsung secara proporsional, maka susunan filtrat tidak berubah dan tetap isotonis terhadap plasma. Diuretika osmotis (manitol, sorbitol) bekerja di sini dengan merintangi reabsorpsi air dan juga natrium.
  2. Lengkungan Henle. Di bagian menaik dari Henle’s loop ini kurang lebih 25% dari semua ion Cl- yang telah difiltrasi direabsorpsi secara aktif, disusul dengan reabsorpsi pasif dari Na+ dan K+ tetapi tanpa air, hingga filtrat menjadi hipotonis. Diuretika lengkungan seperti furosemida, bumetanida dan etakrinat, bekerja terutama di sini dengan merintangi transport Cl- dan demikian reabsorpsi Na+. Pengeluaran K+ dan air juga diperbanyak.
  3. Tubuli distal. Di bagian pertama segmen ini, Na+ direabsorpsi secara aktif pula tanpa air hingga filtrat menjadi lebih cair dan lebih hipotonis. Senyawa tiazida dan klortalidon bekerja di tempat ini dengan memperbanyak ekskresi Na+ dan Cl- sebesar 5 – 10 %. Di bagian kedua segmen ini, ion Na+ ditukarkan dengan ion K+ atau NH4+; proses ini dikendalikan oleh hormon anak ginjal aldosteron. Antagonis aldosteron (spironolakton) dan zat-zat penghemat kalium (amilorida, triamteren) bertitik kerja di sini dengan mengakibatkan ekskresi Na+ (kurang dari 5%) dan retensi K+.
  4. Saluran pengumpul. Hormon antidiuretik ADH (vasopresin) dari hipofisis bertitik kerja di sini dengan jalan mempengaruhi permeabilitas bagi air dari sel-sel saluran ini.


Efek Samping

Efek-efek samping utama yang dapat diakibatkan diuretika adalah:

a. Hipokaliemia

b. Hiperurikemia

c. Hiperglikemia

d. Hiperlipidemia

e. Hiponatriemia

f. Lain-lain:

Gangguan lambung usus (mual, muntah, diare), rasa letih, nyeri kepala, pusing dan jarang reaksi alergis kulit. Ototoksisitas dapat terjadi pada penggunaan furosemida/bumetamida dalam dosis tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Katzung, Bertram G. 2004. Basic and Clinical Pharmacology. Prentice Hall.

Mycek, Mary J. 2001. Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology. Limppincott.

Mutschler, Ernst. 1991. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. ITB. Bandung.

Tanzil, S. 1992. Catatan Kuliah Farmakologi I. EGC. Jakarta

Tjay, Tan Hoan. 2007. Obat-obat Penting. Gramedia. Jakarta.