Mentawai adalah kepulauan yang sangat indah, yang terletak di provinsi Sumatera Barat.
Surga para peselancar.
Ombaknya besar, air lautnya biru membentang, pasirnya putih.
Namun, pada tanggal 25 Oktober 2010, bencana terjadi...
Tsunami setingga 3 m menghantam pantai indah Mentawai, menyusul gempa bumi yang terjadi sebelumnya dengan kekuatan 7,2 SR
.
Tsunami yang terjadi di Mentawai ini, memang tidak sebesar tsunami yang terjadi di Aceh beberapa tahun silam.
Efeknya sungguh memporakporanda kepulauan Mentawai ini.
Tsunami selalu mengerikan.
Ratusan orang tewas dan menghilang.
Indonesia berduka.
Tsunami adalah sejenis gelombang laut yang amat berbeda dengan gelombang laut lainnya yang ditimbulkan pasang-surut ataupun akibat aksi angin. Keunikan tsunami terletak pada kecepatan rambatnya yang amat besar
namun beramplitudo kecil saat ia baru terbentuk akibat adanya gempa di laut dalam, namun amplitudo gelombangnya ini kemudian berubah menjadi besar sebagai kompensasi menurunnya kecepatan tsunami karena mendangkalnya laut sebelum ia mencapai pantai. Ini adalah suatu bentuk demonstrasi hukum kekekalan energi. Energi kinetik diwakili kecepatan tsunami sedang energi potensial digambarkan oleh amplitudonya. Untuk maksud peringatan dini, maka berikut akan ditinjau tentang tsunami lokal yakni tsunami yang tiba di pantai pada jarak sekitar 100 km dari sumber gempa atau tsunami yang membutuhkan waktu kurang dari sejam untuk mencapai pantai.
Tsunami Mentawai akhir Oktober 2010, tergolong tsunami lokal. Tsunami tersebut didahului gempa berkekuatan 7,2 pada skala Richter pukul 21.42 WIB pada kedalaman laut 20,6 km.
Informasi ini terkandung dalam pesan Local Watch Bulletin nomor 1 yang dikeluarkan PTWC (Pacific Tsunami Warning Center) pada pukul 21.49 WIB. Pusat ini bernaung di bawah NOAA yakni lembaga kelautan dan atmosfer USA.
Berdasarkan kesaksian korban Tsunami, tsunami tiba 10 menit setelah gempa, artinya pukul 21.52. Ada pula yang bersaksi menyaksikan tsunami datang sekitar pukul 22.00. Ini berarti 18 menit setelah terjadi gempa.
Lalu bagaimana Peringatan Dini dari Bencana ini bisa diketahui?
Guncangan akibat gempa sebagai peringatan dini tampaknya lebih baik sebagai peringatan dini tsunami karena minimal ada rentang waktu sekitar 10 menit untuk menghindar. Sistem tradisional (indigineous knowledge) seperti smong di Pulau Simeulue, Aceh masih terbukti ampuh. Sistem ini ada sejak tsunami tahun 1907. Namun yang perlu diingat adalah bahwa tidak setiap gempa akan menimbulkan tsunami.
Itulah sebabnya kita masih membutuhkan produk IPTEK seperti buletin PTWC di atas walaupun kita mengetahui bahwa rentang waktu untuk mempersiapkan diri adalah begitu singkat.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana sistem peringatan dini tersebut disampaikan ke warga?
Kalau dalam bentuk goncangan gempa mungkin para warga bisa merasakannya dan mereka segera lari ke tempat yang sesuai (daratan yang lebih tinggi). Namun apabila peringatannya hanya via internet/email atau telepon seluler, bagaimana menyebarluaskannya kepada warga yang mungkin saja belum terjangkau fasilitas semacam itu?
Hal ini sedang menjadi fokus penelitian oleh banyak peneliti.
Lalu, apa yang bisa dilakukan?
1. Menanam tumbuhan di bibir pantai untuk mencegah terjangan Tsunami
Oleh pakar Tsunami ITB, Dr Hamzah Latif, telah dibuat simulasi kronologis Tsunami yang menerjang Mentawai, dengan melihat sisa-sisa (deposit) yang ditinggalkan tsunami dapat dilihat bahwa pengaruh tumbuhan dalam mengurangi energi tsunami baik di tepi pantai maupun di darat sangat berperan. Dokumentasi peristiwa tsunami pada berbagai media yang begitu mudah diakses melalui internet menunjukkan bahwa pepohonan masih mampu bertahan dari terjangan tsunami dibanding bangunan. Para peneliti Jepang dan Sri Lanka telah menguji efektivitas berbagai varietas tanaman sebagai perisai tsunami. Hal ini juga mungkin bisa menjadi inspirasi para pembangun rumah untuk meniru struktur akar tanaman, misalnya bakau, agar tak lekang diterjang tsunami.
2. Mengetahui daerah aman untuk penyingkiran sementara (tempat mengungsi)
Dengan adanya peta inundasi dan run-up yang telah dibuat ahli Tsunami, kita dapat melihat lokasi yang tepat untuk menjadi tempat penyingkiran masyarakat sementara setelah mereka menerima peringatan dini. Hal yang menjadi tantangan besar bagi penyiapan peta semacam ini adalah bagaimana menentukan: kapan, di mana, dan berapa kekuatan gempa?
3. Percaya terhadap Peringatan Bencana dan mendahulukan IPTEK dibanding mitos
Selain faktor teknis di atas, keberhasilan mengurangi dampak tsunami juga tentu tergantung pada faktor manusia. Namun, melihat contoh kesuksesan mitigasi Gunung Merapi yang berada di bawah komando Dr Surono, ada harapan bahwa kita pun juga dapat melakukannya pada kasus tsunami jika jarak waktu tiba tsunami yang begitu cepat dapat kita atasi.
4. Relokasi Warga
Relokasi dapat dilakukan dengan memindahkan pemukiman penduduk beberapa meter ke arah tengah pulau. Karena bisa dipastikan relokasi warga ke pulau lain akan sangat sulit dilakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
it's okay if you're opinionated. berkomentarlah :D