Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan rasa nyeri tanpa memiliki kerja anestesi umum.
Berdasarkan potensi kerja, mekanisme kerja dan efek samping analgetik dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :
1. Analgesik yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat (hipoanalgetik, kelompok opiat/narkotika)
2. Analgesik yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer dengan sifat antipiretik dan kebanyakan juga mempunyai sifat antiimflamasi dan antireumatik.
Nyeri
Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan ancaman kerusakan jaringan. Keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi. Nyeri merupakan suatu perasaan subjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Nyeri dapat disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis (kalor atau listrik) dapat menmbulkan kerusakan jaringan.
Mekanisme terjadinya nyeri ada 4 macam, yaitu:
a. Transduksi
Proses dimana nyeri diubah menjadi suatu aktivitas listrik yang akan diterima ujung-ujung syaraf. Terjadi perubahan patologis karena mediator nyeri mempengaruhi juga nosiseptor diluar daerah daerah trauma nyeri yang meluas. Selanjutnya terjadi proses sensitisasi perifer, yaitu menurunnya nilai ambang rangsang nosiseptor karena pengaruh mediator dan penurunan pH, akibatnya nyeri dapat timbul. Rangsangan nyeri diubah menjadi depolarisasi membran reseptor yang kemudian menjadi impuls syaraf.
b. Transmisi
Proses penyampaian impuls nyeri dari nosiseptor saraf perifer melewati kornu dosalis, dari spinalis menuju korteks serebri. Transmisi sepanjang akson berlangsung karena proses polarisasi, sedangkan dari neuron presinaps ke pasca sinaps melewati neurotransmitor.
c. Modulasi
Proses pengendalian internal sistem saraf, dapat meningkatkan atau mengurangi penerusan impuls nyeri. Modulasi nyeri dapat timbul di nosiseptor perifer medula spinalis.
d. Persepsi
Hasil rekonstruksi SSP tentang impuls nyeri yang diterima. Rekonstruksi merupakan hasil interaksi sistem saraf sensoris, informasi kognitif (korteks serebri) dan pengalaman emosional. Persepsi menentukan berat ringan nyeri yang dirasakan.
Atas dasar farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar, yakni:
a. Analgesik Narkotika (Opioid)
Analgesik narkotika merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Meskipun memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain, golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri yang sangat hebat. Berbeda dengan golongan analgesik non narkotik, jenis obat ini dapat menimbulkan efek adiksi (ketagihan) jika digunakan secara berulang, maka usaha untuk mendapatkan suatu analgesik yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapatkan analgesik yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi. Contoh obat analgesik narkotika adalah morfin (opium).
Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang mirip morfin. Istilah ini berasal dari kata narkosis, bahasa Yunani yang berarti stupor. Istilah narkotik telah lama ditinggalkan jauh sebelum ligan yang mirip opioid endogen dan reseptor untuk zat ini. Dengan ditemukannya obat yang bersifat campuran agonis dan antagonis opioid yang tidak meniadakan ketergantungan fisik akibat morfin, maka penggunaan istilah analgesik narkotik untuk pengertian farmakologi tidak sesuai.
Golongan obat opioid (narkotika) adalah :
1. Obat yang berasal dari opium-morfin
2. Senyawa semisintetik morfin
3. Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.
Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid. Reseptor tempat terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor opioid.
b. Analgesik Non-narkotika
Mekanisme kerja analgesik non narkotika adalah menghambat biosintesis prostaglandin dengan penghambatan terhadap kerja enzim siklooksigenase. Prostaglandin berfungsi sebagai penghantar sensasi nyeri dan juga faktor proteksi pada keseimbangan sekresi saluran cerna. Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir memberikan banyak penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efek yang ditimbulkan berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arahidonat menjadi PGG2 terganggu. Karena adanya penghambatan sintesis prostaglandin sebagai penghantar rasa nyeri, biasanya diikuti dengan adanya efek samping seperti tukak lambung (ulcus pepticum). Prostaglandin dalam keadaan normal dalam tubuh berfungsi sebagai faktor proteksi bersama asam lambung. Jika prostaglandin dihambat maka akan terjadi ketidakseimbangan pada saluran gastrointestinal yang menyebabkan sekresi asam lambung meningkat dan terjadilah tukak lambung.
Obat analgesik non narkotika digolongkan sebagai berikut :
1. Turunan salisilat, misal : asetosal, salisilamid
2. Turunan p-aminofenol, misal : asetaminofen (Parasetamol)
3. Turunan pirazolon, misal : fenilbutazon, oksibutazon
4. Turunan asam fenilpropionat, misal : ibuprofen, naproksen, ketoprofen
5. Turunan indol, misal : indometacin
6. Turunan antranilat, misal : asam mefenamat, meklofenamat
7. Turunan oksikam, misal : piroksikam
Asam Mefenamat:
• Sifat fisiko kimia
Pemerian serbuk hablur, putih atau hampir putih; melebur pada suhu lebih kurang 230oC disertai peruraian, larut dalam larutan alkali hidroksida; agak sukar larut dalam kloroform; sukar larut dalam etanol dan dalam methanol; praktis tidak larut dalam air.
Asam mefenamat memiliki kelarutan yang kecil dalam air (0,0041 g/100 ml (25°C) dan 0,008 g/100 ml (37°C) pada pH 7,1). Kelarutan asam mefenamat yang kecil dalam air menjadikan tahap penentu kecepatan terhadap bioavailabilitasnya adalah laju disolusi asam mefenamat dalam media aqueous.
• Farmakokinetika
Asam mefenamat diabsorbsi dengan cepat dari saluran gastrointestinal apabila diberikan secara oral. Kadar plasma puncak dapat dicapai 1 sampai 2 jam setelah pemberian 2x250 mg kapsul asam mefenamat; Cmax dari asam mefenamat bebas adalah sebesar 3.5 μg/mL dan T1/2 dalam plasma sekitar 3 sampai 4 jam. Pemberian dosis tunggal secara oral sebesar 1000 mg memberikan kadar plasma puncak sebesar 10 μg/mL selama 2 sampai 4 jam dengan T1/2 dalam plasma sekitar 2 jam. Pemberian dosis ganda memberikan kadar plasma puncak yang proporsional tanpa adanya bukti akumulasi dari obat. Pemberian berulang asam mefenamat (kapsul 250 mg) menghasilkan kadar plasma puncak sebesar 3.7 sampai 6.7 μg/mL dalam 1 sampai 2.5 jam setelah pemberian masing-masing dosis.
Asam mefenamat memiliki dua produk metabolit, yaitu hidroksimetil dan turunan suatu karboksi, keduanya dapat diidentifikasi dalam plasma dan urin. Asam mefenamat dan metabolitnya berkonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian besar diekskresikan lewat urin, tetapi ada juga sebagian kecil yang melalui feces. Pada pemberian dosis tunggal, 67% dari total dosis diekskresikan melalui urin sebagai obat yang tidak mengalami perubahan atau sebagai 1 dari 2 metabolitnya. 20-25% dosis diekskresikan melalui feces pada 3 hari pertama.
• Farmakodinamika
Asam mefenamat dapat digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri sedang dalam berbagai kondisi seperti nyeri otot, nyeri sendi, nyeri ketika atau menjelang haid, sakit kepala dan sakit gigi. Secara terperinci efek dari asam mefenamat antara lain:
1. Nyeri perut ketika masa menstruasi (dysmenorrhoea)
2. Pendarahan yang tidak normal pada saat menstruasi
3. Sakit kepala
4. Penyakit yang disertai dengan radang
5. Nyeri otot (myalgia)
6. Osteoarthritis
7. Nyeri dan inflamasi
8. Nyeri pada saat melahirkan
9. Nyeri ketika dioperasi
10. Sakit gigi
Karena asam mefenamat termasuk kedalam golongan (NSAID), maka kerja utama kebanyakan nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID) adalah sebagai penghambat sintesis prostaglandin, sedangkan kerja utama obat antiradang glukokortikoid menghambat pembebasan asam arakidonat.
Asam mefenamat bekerja dengan membloking aktivitas dari suatu enzim dalam tubuh yang dinamakan siklooksigenase. Siklooksigenase adalah enzim yang berperan pada beberapa proses produksi substansi kimia dalam tubuh, salah satunya adalah prostaglandin. Prostaglandin diproduksi dalam merespons kerusakan/adanya luka atau penyakit lain yang mengakibatkan rasa nyeri, pembengkakan dan peradangan. Prostaglandin (PG) sebenarnya bukan sebagai mediator radang, lebih tepat dikatakan sebagai modulator dari reaksi radang. Sebagai penyebab radang, PG bekerja lemah, berpotensi kuat setelah berkombinasi dengan mediator atau substansi lain yang dibebaskan secara lokal, autakoid seperti histamin, serotonin, PG lain dan leukotrien. Prostaglandin paling sensibel pada reseptor rasa sakit di daerah perifer. Prostaglandin merupakan vasodilator potensial, dilatasi terjadi pada arteriol, prekapiler, pembuluh sfingter dan postkapiler venula. Walaupun PG merupakan vasodilator potensial tetapi bukan sebagai vasodilator universal. Selain PG dari alur sikooksigenase juga dihasilkan tromboksan. Tromboksan A2 berkemampuan menginduksi agregasi platelet maupun reaksi pembebasan platelet.
• Efek Samping dan Dosis
Efek samping asam mefenamat yang paling menonjol adalah kemampuannya merangsang dan gejala iritasi terhadap mukosa lambung. Oleh karena itu, asam mefenamat sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang mempunyai sakit mag atau gangguan lambung lainnya. Risiko perdarahan lambung ini akan lebih besar lagi pada peminum alkohol. Untuk mengurangi risiko gangguan lambung, sebaiknya obat-obat yang mengandung asam mefenamat dikonsumsi bersama makanan atau susu.
Selain dapat menyebabkan gangguan lambung (kembung, nyeri, keram, dan perdarahan lambung), Asam mefenamat juga dapat menyebabkan sakit kepala, pusing, diare, mual dan muntah bagi orang-orang yang peka. Kadang-kadang juga dapat terjadi gangguan penglihatan dan pendengaran, penglihatan menjadi kabur dan telinga berdenging. Asam mefenamat juga dapat menyebabkan kantuk. Karena itu, orang yang sedang mengonsumsi asam mefenamat dilarang mengendarai kendaraan, menjalankan mesin, dan melakukan aktivitas lain yang memerlukan kesadaran tinggi.
Perdarahan yang cukup parah di lambung dapat terjadi jika mengonsumsi asam mefenamat dalam jangka waktu cukup lama ditandai dengan kotoran (faeces) berubah warna menjadi kehitaman, atau terdapat bercak-bercak darah dan terjadi muntah darah. Over dosis asam mefenamat biasanya ditandai dengan mual, muntah, perdarahan lambung, pusing, sakit kepala, diare, telinga berdenging, penglihatan kabur, berkeringat banyak, napas melemah, kejang, dan dapat mengakibatkan kematian.
Selain tidak boleh diberikan kepada penderita gangguan lambung dan peminum alkohol, asam mefenamat juga tidak boleh diberikan kepada orang-orang yang alergi terhadap salah satu obat golongan NSAIDS (misalnya yang mengandung ketoprofen, naproxen, diclofenac, fenoprofen, flurbiprofen, indomethacin, nabumetone, oxaprozin, piroxicam, dan lain-lain), penderita gangguan jantung, ginjal, atau hati, dan penderita hipertensi (tekanan darah tinggi).
Wanita hamil juga sebaiknya tidak mengonsumsi asam mefenamat, sebab walaupun belum dapat dipastikan asam mefenamat dapat membahayakan janin di dalam kandungan, beberapa obat yang satu golongan dengan asam mefenamat terbukti dapat mengganggu perkembangan jantung janin di dalam kandungan.
Asam mefenamat juga dapat keluar bersama air susu ibu (ASI). Oleh karena itu, wanita menyusui sebaiknya tidak mengonsumsi asam mefenamat. Asam mefenamat sebaiknya juga tidak diberikan pada anak-anak atau pasien usia lanjut, sebab dapat menyebabkan efek samping yang lebih parah. Karena efek toksiknya maka di Amerika Serikat obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan kepada anak dibawah 14 tahun dan wanita hamil, dan pemberiannya tidak lebih dari 7 hari.
Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari. Dosis yang dianjurkan untuk nyeri akut pada dewasa dan anak diatas 14 tahun adalah 500 mg sebagai dosis awal yang diikuti dengan 250 mg tiap 6 jam bila diperlukan, biasanya tidak lebih dari satu minggu. Untuk mengatasi nyeri haid, dosis yang dianjurkan adalah 500 mg sebagai dosis awal yang diikuti dengan 250 mg tiap 6 jam, penggunaan tidak boleh lebih dari 2 sampai 3 hari yang dimulai saat menstruasi hari pertama atau pada saat adanya rasa nyeri.
- Sediaan yang beredar di pasaran
Ponstan, mefinal, mefamat, stanza, molasic dan lain sebagainya.
Asetosal (C9H8O4)
• Sifat fisika kimia
Asam asetilsalisilat merupakan hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak berbau atau hamper tidak berbau, dan rasa asam. Agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol (95%) P, larut dalam kloroform P dan dalam eter P. Titik leleh antara 141°C sampai 144°C.
• Farmakokinetik
Resorpsinya cepat dan praktis lengkap, terutama di bagian pertamam duodenum. Namun, karena bersifat asam, sebagian zat diserap pula di lambung. Mulai efek analgeis dan antipiretisnya cepat, yakni setelah 30 menit dan bertahan 3-6 jam, kerja antiradangnya baru nampak setelah 1-4 hari. Resorpsi dari rektum (suppositoria) lambat dan tidak emnentu, sehingga dosisnya perlu digandakan. Dalam hati, zat ini segera dihidrolisa menjadi asam salisilat dengan daya anti nyeri lebih ringan.
• Farmakodinamik
Asetosal atau asam asetil salisilat merupakan senyawa anti inflamasi non steroid yang juga menunjukkan aktivitas antitrombosis, analgesik dan antipiretik. Asetosal secara tradisional merupakan analgesik anti iinflamasi pilihan pertama, tapi banyak dokter sekarang lebih suka memilih AINS (antiinflamasi non steroid) lain yang mungkin lebih dapat diterima dan lebih menyenangkan bagi pasien. Dalam dosis tinggi yang umum, efek anti inflamasi asetosal sama dengan efek AINS lain.
Selain sebagai analgetikum, asetosal digunakan sebagai alternatif dari antikoagulansia sebagai obat mencegah infark kedua setelah terjadi serangan. Obat ini juga efektif untuk profilaksis serangan stroke kedua setelah menderita TIA (Transient Ischaemic Attack = serangan kekurangan darah sementara di otak), terutama pada pria.
• Efek samping dan Dosis
Asetosal tidak dianjurkan bila lambung pasien tidak tahan karena sifat asamnya. Asetosal dalam dosis 1 tablet dewasa menyebabkan darah menjadi encer sehingga perdarahan (seperti dalam haid atau terluka) akan sulit berhenti karena darah tidak dapat membeku. Pada dosis besar menyebabkan hilangnya efek pelindung dari prostasiklin (PgI2) terhadap mukosa lambung.
Asetosal dapat emenimbulkan efek spesifik, seperti reaksi alergi kulit dan tinnitus (telinga berdengung) pada dosis lebih tinggi. Dilarang pemberikan asetosal (aspirin) pada anak dibawah usia 16 tahun (kecuali pada kondisi medis yang khusus). Pelarangan penggunaan asetosal pada anak-anak terutama karena berhubungan dengan penyakit Reye’s syndrome. Wanita hamil tidak dianjurkan menggunakan asetosal dalm dosis besar, terutama pada triwulan dan sebelum persalinan, karena lama kehamilan dan persalinan dapat diperpanjang.
Asetosal 150-300 mg sehari digunakan untuk mengurangi kematian setelah infark miokard. Asetosal dosis rendah (misal 75 atau 100 mg sehari) juga diberikan setelah pembedahan bypass.
Dosis pada nyeri dan demam oral 4 dd 0,5-1 g p.c., maksimum 4 g sehari, anak-anak sampai 1 tahun 10 mg/kg 3-4 kali sehari, 1-12 thn 4-6 dd, diatas 12 thn 4 dd 320-500 mg, maksimum 2 g/hari. Rektal dewasa 4 dd 0,5-1 g, anak-anak sampai 2 thn 2 dd 20 mg/kg, di atas 2 thn 3 dd 20 mg/kg p.c.
Parasetamol
Derivat asetanilid ini merupakan metabolit dari fenasetin. Khasiatnya analgetis dan antipiretis, tetapi tidak antiradang. Dewasa ini dianggap aman sebagai zat antiyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan mandiri). Efek analgetisnya diperkuat oleh kafein dengan kira-kira 50%.
• Farmakokinetik
Resorpsinya dari usus cepat dan praktis tuntas, secara rektal lebih lambat. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam.obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol dan 30% fenasetin terikat protein plasma. Kedua obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Dalam hati, zat ini diuraikan menjadi metabolit-metabolit toksik yang diekskresi dengan kemih sebagai konyugat-glukuronida dan sulfat.
• Farmakodinamik
Parasetamol (asetaminofen) memiliki efek sebagai anti-piretik tetapi juga memiliki efek analgesik dan efek anti-inflamasinya kurang bermakna. Parasetamol relatif lebih aman dibanding obat-obat lainnya yang terdapat dalam golongan ini. Tidak merangsang asam lambung sehingga dapat diminum saat perut kosong. Pada dosis tinggi dapat memperkuat antikoagulansia, dan pada dosis biasa tidak interaktif. Masa paruh kloramfenikol dapat sangat diperpanjang. Kombinasi dengan obat AIDS zidovudin meningkatkan resiko akan neuropenia.
• Efek samping dan Dosis
Efek sampingnya sangat jarang terjadi (anemia hemolitik, methemoglobinemia) dan baru muncul pada dosis yang sangat besar (> 10 g sehari). Kematian karena parasetamol disebabkan oleh kerusakan hati akibat memakan parasetamol dalam dosis yang sangat besar sekaligus. Hati-hati pemberiannya kepada penderita kelainan hati. Overdose bisa menimbulkan antara lain mual, muntah, dan anoreksia. Penanggulangannya dengan cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsistein atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelahintoksikasi. Wanita hamil dapat mengguankan parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu.
Dosis untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5-1g, maksimum 4 g/hari, pada peggunaan kronis maksimum 2,5 mg/hari. Anak-anak 4-6 dd 10 mg/hari. Rektal 20 mg/kg setiap kali, dewasa 4 dd 0,5-1 g, ana-anak usia 3-12 bulan 2-3 dd 120 mg, 1-4 thn 2-3 dd 240 mg, 4-6 thn4 dd 240 mg, dan 7-12 thn 2-3 dd 0,5 g.
Contoh sediaan di pasaran adalah biogesic, tempra, bodrexin, bodrex, sanmol, pamol .
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Farmakologi dan Terapeutik UI. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Mutchler, Ernst. 1991. Dinamika Obat. Edisi Kelima. Bandung: Penerbit ITB
Tjay, Hoan Tan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya. Edisi kelima. Cetakan kedua. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.