Minggu, 15 November 2009

Banjir Jakarta sebagai Akibat Disintegrasi Sistem Drainase dan Daerah Resapan Air

Banjir, sebenarnya adalah fenomena alam yang merupakan bagian dari siklus iklim. Banjir yang merupakan salah satu bencana, sekarang ini lebih disebabkan oleh intervensi manusia terhadap alam. Misalnya di Jakarta, akibat intervensi manusia yang justru merusak alam, banjir di Jakarta bukan lagi menjadi siklus lima atau tiga tahunan, tetapi kini terjadi setiap tahun. Banjir dengan intensitas dan luas cakupan wilayah yang semakin bertambah dari tahun ke tahun ini disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari tidak tersedianya lagi daerah resapan air hingga sampah.


Banjir Jakarta


Sistem Drainase
Saluran drainase memiliki peran sangat penting sebagai jalan bagi air untuk sampai ke laut yang merupakan tujuan akhir dari air yang mengalir. Seperti halnya jalan, kapasitas saluran drainase haruslah sesuai dengan volume air yang akan disalurkannya. Di beberapa tempat volume saluran drainase mengalami penyusutan karena beberapa hal, yaitu semakin banyaknya masyarakat yang terpaksa bermukim di bantaran sungai, masih berkembangnya perilaku membuang sampah di sungai, pembuatan saluran drainase yang di bawah volume air limpasan, pengusahaan bantaran sungai sebagai areal pertanian, dan kondisi fisik palung sungai. Sistem drainase di Jakarta masih belum optimal dalam mendistribusikan air yang ada. Oleh karena itu, memerlukan suatu sistem yang terintegrasi untuk mendisribusikan air.

Semakin membengkaknya penduduk Jakarta akhirnya berimbas pada semakin meningkatnya kebutuhaan akan tempat tinggal. Sayangnya luas lahan yang tersedia untuk pemukiman di Jakarta tidak mampu memenuhi besarnya kebutuhan masyarakat. Akibatnya, hukum ekonomi lah yang berjalan. Harga tanah semakin mahal. Terlebih harga rumah. Bagi kaum pendatang yang sebagian besar bekerja di sektor informal, untuk memiliki rumah yang layak huni sangatlah jauh dari jangkauan kantong mereka. Akhirnya, pilihan mereka hanyalah bantaran sungai yang tidak berpenghuni. Masuk akal juga sebenarnya pilihan ini. Membangun rumah di bantaran sungai tidak memerlukan pembangunan sarana MCK yang mahal. Cukup dengan memanfaatkan air sungai sebagai sarana MCK.

Ketidaktegasan Pemda DKI dan semakin besarnya penduduk Jakarta menyebabkan permukiman di bantaran sungai semakin padat pula. Akibatnya, seperti sudah diduga oleh banyak pakar sungai, semakin memperkecil volume saluran drainase. Menurut laporan yang dikeluarkan oleh Pemda DKI Jakarta, Sungai Ciliwung yang memliki lebar 65 meter, saat ini menyempit menjadi 15 s/d 20 meter akibat permukiman liar di bantaran sungai tersebut.


Lokasi bantaran sungai yang penuh dengan bangunan adalah sebagai berikut :
1 Waduk Pluit, Jakut
2 Banjir Kanal, Jakut
3 Kali Angke, Kapuk Muara, Jakut
4 Kali Ciliwung-Manggarai, Jaktim-Jaksel
5 Kali Pesanggrahan, Jakbar
6 Kali Cipinang, Besar dan Muara, Jaktim
7 Kali Sunter, Jakut-Jaktim
8 Kali Mampang, Pondok Karya, Jaksel
9 Kali Krukut, Blok P, Jaksel
10 Kali Cideng, MBAU Pancoran, Jaksel
11 Anak Kali Ciliwung Kota (belakang RS Husada), Jakbar

Sebenarnya secara tegas di dalam peraturan perundangan (UU Pengairan dan UU Kehutanan) disebutkan bahwa di kawasan kanan-kiri sungai sejauh 50 meter adalah kawasan lindung yang tidak boleh diganggu gugat. Sayangnya peraturan ini hanya ‘garang’ di atas kertas. Pemerintah seringkali tidak bertindak tegas ketika mulai terlihat adanya gelagat pembangunan di bantaran sungai. Pemerintah baru bertindak setelah setelah kawasan tersebut telah menjadi permukiman yang padat. Akibatnya konflik antara pemerintah dengan masyarakat setempat tidak dapat dihindari.

Pada sisi lain, dalam hal ini dari sudut pandang masyarakat penghuni permukiman liar di bantaran sungai, membangun rumah di kawasan tersebut karena tidak adanya pilihan. Mereka datang ke kota karena memang sampai saat ini baru kota, misal Jakarta, yang memungkinkan mereka dapat mencari nafkah. Pendatang yang sebagian besar berasal dari berbagai daerah pedesaan di Indonesia, tidak lagi dapat menggantungkan hidupnya di desa tempatnya berasal. Lapangan kerja di desa semakin langka. Lahan pertanian yang sebelumnya mereka miliki semakin menyempit. Bahkan, tidak sedikit yang memang tuna lahan. Dengan demikian, sebenarnya fenomena pemukiman di bantaran sungai di Jakarta adalah hasil dari masalah struktural yang melingkupi pembangunan di Indonesia.

Hal lainnya yang turut serta dalam penyempitan saluran drainase adalah kebiasan masyarakat yang suka membuang sampah ataupun limbah domestik ke sungai. Sudah merupakan pemandangan yang biasa, apabila pintu-pintu air di berbagai daerah di Indonesia tertutup penuh oleh sampah.
Menurut Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, setiap harinya sampah yang masuk ke saluran drainase mencapai 800 meter kubik. Banyaknya sampah di saluran drainase tidak hanya menambah pekerjaan bagi petugas pengairan untuk mengangkut sampah, tetapi juga memerlukan biaya yang besar untuk mengangkutnya ke tempat pembuangan sampah. Perilaku membuang sampah di sungai tidak dimonopoli oleh warga Jakarta saja.

Kecenderungan masyarakat membuang sampah di sungai pada dasarnya merupakan perwujudan dari persepsi yang selama ini dianut oleh masyarakat awam tentang sungai. Sebagian masyarakat masih memandang sungai sebagai tempat pembuangan sampah. Alasannya sederhana. Masyarakat sebagian besar masih belum mau untuk bersusah payah membuat lubang atau bak sampah atau bahkan lebih jauh lagi memanfaatkan sampah untuk keperluan lain yang lebih bermanfaat. Membuang sampah di sungai adalah cara paling cepat melenyapkan sampah sebatas padangan mata si pelaku tanpa pernah peduli akibatnya bagi masyarakat yang lain.



Gambaran perbandingan daerah banjir tahun 2002 dan 2007. Bayangkan seperti apa Jakarta di tahun 2009.



Daerah Resapan Air
Berkurangnya daerah resapan air disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan. Lahan yang berfungsi sebagai daerah resapan air kini tertutupi beton. Menurut PBB, wilayah hijau atau daerah resapan yang dimiliki suatu kota idealnya adalah 30% (secara ekologis dan fungsi sosial, misalnya sebagai penyaring udara dari polusi dan kebisingan/ polusi suara) dari luas kota tersebut. Namun, hanya ada 9% wilayah hijau di Jakarta saat ini. Banjir yang terjadi di Jakarta memang disebabkan oleh kesalahan dalam pengelolaan lingkungan yang ada. Di Jakarta sendiri daerah resapan air semakin tahun semakin mengecil, ruang-ruang terbuka hijau dikonversi menjadi daerah komersial. Sepertinya, hukum lingkungan dan kemampuan lingkungan sebagai fungsi penyeimbang tidak berfungsi.

Selain perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke pemukiman dan dari tanaman keras ke tanaman semusim, ada lagi perubahan penggunaan lahan yang cukup signifikan menyebakan banjir yaitu penggunaan situ dan rawa untuk pemukiman. Perubahan ini menyebabkan aliran permukaan dari bagian hulunya tidak mempunyai tempat lagi untuk transit . Aliran permukaan akan langsung mengalir dan menambah aliran dari sekitarnya sehingga menyebakan banjir atau menggenangi pemukiman di daerah bekas situ atau rawa. Kawasan pemukiman Pantai Indah Kapuk (PIK) dahulunya merupakan daerah berawa hutan mangrove yang berfungsi untuk menampung air, kemudian diuruk dan dijadikan kawasan pemukiman.

Problematika perubahan penutupan lahan yang tidak mengikuti kaidah pengelolaan DAS yang benar ternyata sangat dipengaruhi pula oleh pemahaman yang keliru atas teknologi konservasi tanah. Akibatnya, teknologi konservasi tanah diterapkan tidak pada tempatnya. Misalnya, pada lahan-lahan yang terjal yang hanya diperbolehkan untuk hutan oleh masyarakat tetap diusahakan untuk usaha tani tanaman semusim yang membutuhkan pengolahan lahan sangat intensif. Meskipun masyarakat dalam berusahataninya telah menggunakan teknologi konservasi tanah, namun erosi masih akan tetap tinggi. Apalagi bila teknik pengolahan tanah diupayakan untuk mengurangi peresapan air ke dalam tanah, misalnya sawah, maka yang akan terjadi adalah tidak adanya air yang meresap ke dalam tanah ketika hujan turun, tetapi air langsung menjadi limpasan. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan banjir.

Solusi
Seperti yang telah kita ketahui bersama. Pemerintah Jakarta telah melakukan berbagai cara untuk menanggulangi banjir tahunan Jakarta ini. Sepertinya hal ini memang sulit dilakukan, karena alam sudah terlanjur rusak. Namun, hal yang harus diingat adalah tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki. Walau kerusakan alam sudah parah, kita dapat menghentikannya agar kerusakan tidak meluas dan tidak bertambah parah lagi.

Segala informasi yang telah didapatkan, hendaklah ditransformasikan sesuai dengan peran kita dalam realita semesta. Peran penulis di sini adalah sebagai mahasiswa. Mahasiswa atau yang juga dikenal sebagai agent of change memang dituntut untuk selalu mampu berkontribusi besar untuk bangsa. Mahasiswa harus bisa melakukan perubahan ke arah yang lebih baik atau setidaknya menggerakkan masyarakat Indonesia. Karena, bangsa-bangsa lain pun di dunia maju karena kalangan terpelajarnya (mahasiswa). Oleh sebab itu, ketidakpedulian akan alam harus dibuang jauh dari pikiran kita. Apalagi mengenai Jakarta yang merupakan ibukota negara tercinta kita, Indonesia. Banjir ini memang sangat memprihatinkan karena terjadi secara rutin, pada setiap musim hujan. Berikut beberapa solusi yang dapat ditawarkan untuk mencegah bertambah parahnya banjir Jakarta di masa yang akan datang.


Solusi Jangka Pendek
a. Peningkatan kapasitas saluran drainase
Kapasitas saluran drainase yang tidak memadai menyebabkan aliran sungai meluap dan mengenangi daerah-daerah di sekitarnya. Salah satu cara untuk mengurangi terjadinya luapan banjir adalah dengan meningkatkan kapasitas saluran yang ada. Khusus untuk daerah Jakarta, misalnya, ukuran atau kapasitas saluran drainase direncanakan sesuai dengan perkembangan perubahan penggunaan lahan khususnya perkembangan pemukiman.

b. Pembuatan dam penahan air dan mempertahankan situ-situ yang masih ada
Salah satu cara untuk menghambat larinya air permukaan adalah dengan membuat dam penahan air terutama di daerah hulu. Khusus untuk Jakarta ditambah dengan mempertahakan situ-situ yang masih ada. Karena dengan memfungsikan situ-situ yang ada berarti kita mengembalikan keseimbangan air seperti sebelumnya. Situ-situ ini kemudian dijaga agar tidak mengalami kerusakan dan dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

c. Pembuatan sumur resapan
Khusus untuk daerah dengan pemukiman di daerah hulu dan tengah perlu diterapkan peraturan yang ketat tentang kewajiban pembuatan sumur resapan. Pembuatan sumur resapan pada prinsipnya adalah mempercepat aliran permukaan menjadi aliran bawah permukaan (sub surface flow). Tindakan ini walaupun yang diresapkan hanya sedikit tetapi kalau dilaksanakan oleh seluruh pemilik rumah maka hasil air yang bisa di dirubah menjadi aliran bawah permukaan akan sangat besar. Akibatnya banjir akan jauh berkurang dan persediaan air tanah akan meningkat.

d. Rehabilitasi Daerah Tangkapan Air
Melakukan kegiatan reboisasi (minimal 1 pohon 1 rumah) dan pengembangan hutan rakyat di lahan milik.


Solusi Jangka Panjang
a. Adanya komitmen penegakan hukum mengenai lingkungan. Karena hal ini berkaitan dengan masa depan anak cucu kita.

b. Perlu adanya pembangunan yang merata di Indonesia, sehingga pusat perekonomian tidak melulu terpusat di Jakarta. Dengan berkurangnya penduduk Jakarta, maka wilayah hijau sebagai daerah resapan air tidak beralih fungsi menjadi lahan pemukiman penduduk.

c. Perlu dilakukan penyuluhan lingkungan yang ditujukan untuk masyarakat terdidik yang justru merupakan aktor utama perusak lingkungan. Selain itu, peningkatan kesadaran akan dampak besar yang akan terjadi bila manusia tidak juga mencoba memperbaiki alam juga sangat diperlukan.

Solusi ini jelas tidak akan mampu menyelesaikan masalah bila hanya beberapa orang saja yang menerapkannya. Solusi ini membutuhkan dukungan dari seluruh masyarakat khususnya Jakarta, umumnya Indonesia. Demi terwujudnya Jakarta, Indonesia, Dunia, dan Semesta yang lebih baik.


Daftar Pustaka:
Arif. 2006. Analisis penanganan pemerintah dalam mengatasi bahaya pasca bencana banjir yang melanda DKI Jakarta. http://www.scribd.com/doc/22150753/lomba-fisip (diakses tanggal 12 November 2009).

Tim Peneliti BTP DAS Surakarta. Banjir, Penyebab, dan Solusinya. Dipresentasikan dalam rangka Hari Bakti Departemen Kehutanan ke -19 di BTP DAS Surakarta, 20 Maret 2002.

16 komentar:

  1. pastinyaaaahhh...^^

    BalasHapus
  2. wahhhh
    banjir jakarte...

    secara saya anak jakarta gtu loooh...

    bulan2 kayak gini nih..-ber -ber an
    siap2 aja banjiiiir...
    hwwaaa.....
    males dah air masuk2 ke rumah...
    kotorr!!

    nice posting!

    BalasHapus
  3. oh iya...satu lagi,mbak...

    mau nanya...
    penyebab sampah kan juga salah satunya sampah...
    bagaimana yach untuk mengatasinya...?

    padahal saya tidak pernah buang sampah sembaranga loh...

    jadi sedih lihat jakarte begini

    BalasHapus
  4. keep update!!
    keep posting!!
    keep learning!!

    BalasHapus
  5. @andri:
    ya...seperti yang saya bilang di atas...
    banjir di jakarta...sekarang udah bukan banjir musibah atau banjir siklus...
    tapi banjir tahunan...rutin...

    wah..Alhamdulillah deh...masih ada orang-orang seperti mas andri ini yang ga pernah buang sampah sembarangan...:)

    seandainya semua orang di Jakarta berpikiran sama seperti mas andre ini...dijamin...Jakarta akan jadi lebih baik dari yang sekarang...

    semangat yaaa...(rumahnya kebanjiran..heuuheu) :p

    BalasHapus
  6. @hidayat:
    keep visiting my blog,yooow!!
    hehhehe

    terima kasih sudah berkunjung...:)

    BalasHapus
  7. semangat buat besok...!!!
    jadinya ttg banjir spic???

    BalasHapus
  8. @dina:iya dinaaa...karena banjir jakarta sedang up to date,,,,hehe

    semangat juga buat kamu!!

    footnote?wah pasti gara2 keseringan bikin lapak yaaa...
    *yang penting itu menyebutkan sumber...kalo ingin tahu lebih lanjut tentang siapa yang menulis apa bisa ditanyakan pada saya :)

    BalasHapus
  9. oke dah
    sipp
    bagus spica..
    tingkatkan trus..
    saya sbg gurumu bangga sekali.. heee bcanda..
    keren spica..kt sbg mahasiswa farmasi tdk hanya sll hrs mengamati soal kshtan, atw obat, atw rmh skt.. tp jg lingkungan dmn kt tinggal..
    keep fighting!!

    BalasHapus
  10. VIVA PHARMACIA!!

    farmasis jangan cuma jadi jagoan kandang...
    yang hanya tahu obat2an...

    farmasis yang berwawasan luas,tentu lebih oke,kan??

    *makasih ya sudah berkunjung...
    jangan bosan2 ya...
    :)

    BalasHapus
  11. Jadi duta lingkungan hidup aja mbak.., biar warga Jakarta sadar. :)

    BalasHapus

it's okay if you're opinionated. berkomentarlah :D